Penjelasan mengenai hal ini, kami kutipkan dari Kitab Rawaai’u al-Bayaani, Tafsiiru Aayaati al-Ahkaam min al-Qur’an oleh Syaikh Muhammad ‘Aliy as-Shabuuniy yang kami terjemahkan secara bebas sebagai berikut :
Sepakat para ulama, jika makmum masih mendapati imam dalam keadaan rukuk, maka bacaan alfatihah makmum telah ditanggung oleh Imam. Berdasarkan kesepakatan mereka (ulama) itu maka gugurlah bacaan alfatihah makmum dengan rukuknya imam. Adapun jika makmum mendapati imam dalam keadaan berdiri (belum rukuk) apakah makmum membaca alfatihah di belakang imam ataukah cukup dengan bacaan imam? Maka para ulama berbeda dengan beberapa pendapat,
Imam Syafi’i dan imam Ahmad berpendapat mengenai wajibnya bacaan alfatihah di belakang imam baik shalat yang sifatnya sirriyyah (tidak dikeraskan bacaannya seperti shalat Dzuhur, Ashar, rakaat terakhir shalat maghrib dan dua rakaat terakhir shalat Isya) atau shalat jahriyyah (yang dikeraskan bacaannya seperti shalat subuh, dua rakaat pertama shalat Maghrib dan Isya).
Imam Malik berpendapat bahwa shalat yang bersifat sirriyyah maka makmum membaca alfatihah di belakang Imam, dan tidak membacanya di shalat jahriyyah.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa makmum tidak membaca alfatihah di belakang imam baik di shalat yang bersifat sirriyyah ataupun jahriyyah.
Para ulama Syafi’iyah (mazhab Syafi’iy) dan Hanabilah (mazhab Hambali) berdalilkan dengan hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca al-fatihah.
Lafadzh hadits di atas bermakna umum mencakup imam dan juga makmum, baik shalat yang bersifat sirriyyah dan jahriyyah. Maka siapa saja yang tidak membaca alfatihah maka shalatnya tidak sah.
Dan bahwa alfatihah itu hanya dibaca di shalat sirriyyah bagi makmum, maka imam Malik berdalilkan dengan hadits yang telah disebutkan di atas, sedangkan melarang membacanya di shalat jahriyyah berdalilkan firman Allah Azza Wa Jalla,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf : 204)
Dan Imam al-Qurthubi menukil dari Imam Malik bahwa makmum tidak membaca alfatihah di shalat jahriyyah satu ayat pun dari al-Qur’an di belakang imam. Dan adapun pada shalat sirriyyah maka ia membaca alfatihah, sekiranya ia meninggalkan membaca alfatihah maka ia telah melakukan keburukan, dan tidak mendapatkan sesuatupun dari shalatnya.
Dan adapun Imam Abu Hanifah maka sungguh beliau rah.a telah melarang membaca alfatihah di belakang imam secara mutlak dalam rangka mengamalkan ayat yang mulia,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf : 204)
Dan juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة. أخرجه ابن أبي شيبة عن أبي هريرة رضي الله عنه
Siapa saja yang shalat di belakang Imam, maka bacaan (alfatihah) Imam juga adalah bacaannya.
Dan beliau juga berdalilkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda :
إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبر فكبروا، وإذا قرأ فأنصتوا. أخرجه عبد بن حميد عن جابر رضي الله عنه.
Sungguh hanyalah dijadikan imam itu untuk diikuti, jika ia bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika ia membaca (ayat) maka perhatikanlah.
(Sumber : Kitab “Rawaai’u al-Bayaani, Tafsiiru Aayaati al-Ahkaam min al-Qur’an” oleh Syaikh Muhammad ‘Aliy as-Shabuuniy, juz I, penerbit Daru as-Shaabuniy, 2007, hlm. 42.)
Kesimpulan :
Perbedaan membaca alfatihah atau tidak bagi makmum adalah contoh Ikhtilaf Tanawwu’, perbedaan yang tidak saling kontradiktif antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari pendapat tersebut mempunyai kesamaan makna namun redaksinya berbeda, sebagaimana halnya dengan qira’ah sab’ah. Contoh ikhtilaf tanawwu’ lainnya, perbedaan dalam adzan jum’at, bacaan do’a iftitah, tasyahhud, qunut shubuh, dan bacaan basmalah dalam fatihah, yang kesemuanya disyari’atkan. Dalam masalah ijtihad seperti ini, tidak diperkenankan saling berselisih (tanazu’). Lebih-bebih sampai memicu tadlil (saling menyesatkan) dan takfir (mengkafirkan). Karena menurut Ibn jarir At-Thabari, semua itu sifatnya adalah alternative (takhyir), pilihan yang tidak perlu dipertentangkan.
Dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan furuiyyah seperti ini (masalah fiqhi, bukan akidah), para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dengan ta’ashub (fanatik) berlebihan jika terjadi perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan), takfir (pengkafiran) dan tafsiq (menghukumi fasik). Dalam berdakwah, mereka tidak pula sombong atau memaksakan diri agar pendapatnya wajib diikuti semua umat.
Adab itu pernah dicontohkan oleh Imam Malik. Dikisahkan bahwa Harun al-Rasyid menyarankan agar Imam Malik mempopulerkan kitabnya, al-Muwatta’, dengan cara digantungkan di Ka’bah. Harun al-Rasyid melihat keilmuan Imam Malik tiada yang menandingi pada waktu itu, sehingga dengan cara itu sang Khalifah ingin madzhab Imam Malik diikuti semua penduduk negeri. Akan tetapi, Imam Malik secara diplomatis menjawab: ”Jangan Tuan lakukan itu. Sebab sahabat Rasulullah SAW saja sudah berselisih dalam masalah furu’. Lagi pula, umat Islam sudah tersebar di berbagai negeri, sedang sunnah sudah sampai pada mereka, dan mereka juga punya Imam yang diikuti. Harun al-Rasyid pun berkomentar:”Semoga Allah SUBHAANAHU WA TA’ALA memberi taufiq kepadmu, wahai Abi Abdillah” (diriwayat oleh al-Suyuthi dalam al-Inshaf fi Asbabi al-Ikhtilaf).
Oleh : Samsul Basri, S.Si, M.E.I