Assalamu’alaikum Warahmatullah Ustadz.
Izin bertanya mengenai “Tenggelam dalam Hal Mubah” Apa yang dimaksud dengan “Tenggelam dalam hal yang mubah”? Dari apa yang saya baca dalam Kitab “Al-Wafi” Karya Dr. Musthafa Dib Al-Bugha dan Syeikh Muhyiddin Mistu saya mendapatkan penjelasan beliau yang kurang lebih berbunyi : “Orang-orang yang mendapatkan dunia dengan cara yang benar tetapi tenggelam dalam hal yang mubah merasa lezat dan betah dalam syahwat yang mubah”.
Dalam Kitab ini dijelaskan bahwa orang yang seperti ini mengurangi derajatnya berbanding lurus dengan waktu yang dihabiskannya dalam menikmati dunia. Beliau membawakan hadits yang dikatakan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang berbunyi “Tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu di dunia kecuali hal itu akan mengurangi derajatnya di akhirat di sisi Allah walau dia mulia di atasnya”. Apakah hadits di atas shahih? Apakah semua perkara mubah apabila dikerjakan akan mengurangi derajat seseorang? Bukankah ada perkara mubah yang menjadikan seseorang dapat semakin lebih dekat dengan kebaikan dan sebaiknya. Bagaimana sesuatu yang diklasifikasikan sebagai “boleh” dapat menjadi tercela bahkan berdasarkan hadits di atas hal tersebut dapat mengurangi derajatnya di akhirat di sisi Allah? Jazaakallah Khayr
Zidan – Yogyakarta
Jawaban
Oleh Aswanto Muhammad, Lc, MA
(Ketua Komisi Aqidah Dewan Syariah Wahdah Islamiyah. Alumni Fakultas Hadis Universitas Islam Medinah dan S2 Jurusan Tafsir & Hadis di King Saud University Riyadh)
Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Yang dimaksud dengan “Tenggelam dalam hal yang mubah” adalah seseorang yang larut dalam perkara-perkara mubah atau halal, baik dalam bentuk perbuatan, perkataan, pakaian, makanan dan lain lain yang dibolehkan dalam pandangan syariat. Sikap ini akan tercela jika menyebabkan lalai dari kewajiban dan keta’atan kepada Allah atau menyebabkan terjatuh dalam perkara yang diharamkan, atau larut dalam hal mubah tersebut kemudian lalai dalam mensyukurinya serta tidak menjadikannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezki yang baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kamu menyembah kepadaNya” [QS. Al Baqarah:172].
Dan firmanNya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya” [QS. Al Maidah:88].
Rasulullah bersabda: “Tidak mengapa kekayaan bagi siapa yang bertakwa” [HR. Ibnu Majah no. 2141].
Adapun hadis yang disebutkan diriwayatkan dari Ibnu Umar yang berbunyi: “Tidaklah seseorang mendapatkan sesuatu di dunia kecuali hal itu akan mengurangi derajatnya di akhirat di sisi Allah walau dia mulia di atasnya”, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah [al Mushannaf, no. 35632] dan dishahihkan oleh syekh al Albani [Shahih Targib, 3/255], namun dia bukan sabda Rasulullah, ia hanyalah perkataan Ibnu Umar. Dan maksudnya adalah orang yang mendapatkan sesuatu itu dengan jalan yang tidak dibenarkan dalam tinjauan syariat atau lalai dari mensyukurinya atau menjadi penyebab lalai dari ketaatan kepada Allah.
Misalnya seseorang yang asik menikmati berbagai jenis makanan halal sehingga menyita banyak waktunya, walaupun pada dasarnya ia tidak berdosa namun seandainya ia cukup makan sebutuhnya saja lalu sisa waktu itu digunakan untuk ibadah dan ketaatan, seperti menuntut ilmu atau amalan-amalan sunnat lainnya, maka seharusnya derajatnya akan semakin tinggi.
Bukan berarti derajatnya berkurang namun ia luput dari pertambahan derajat. Tapi, Jika hal yang mubah tersebut digunakan sebagai sarana yang membantu dalam ketaatan kepada Allah, sebagaimana orang yang mengkonsumsi makanan baik dan halal agar mendapatkan kebugaran dan energi sehingga semakin maksimal dalam menjalankan ibadah dan ketaatan atau dengan hartanya ia membeli fasilitas yang dengannya semakin maksimal ibadah, maka hal itu justeru semakin meninggikan derajatnya di sisi Allah.
Wallahu a’lam.