Apa dan Bagaimana Perbankan Syariah
Oleh: Idris Parakkasi (Konsultan Keuangan Syariah)
Krisis keuangan hebat sedang melanda Amerika Serikat (AS). Sebuah bencana besar di sektor ekonomi keuangan. Bangkrutnya Lehman Brothers, perusahaan sekuritas berusia 158 tahun milik Yahudi ini menjadi pukulan berat bagi perekonomian AS yang sejak beberapa tahun terakhir mulai goyah.
Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti Jepang, Hongkong, China, Australia, Singapura, India, Taiwan dan Kore Selatan mengalami penurunan drastis 7-10 persen, termasuk pasar bursa efek Indonesia mengalami hal yang sama.
Menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riil yang dalam Islam dikategorikan dengan riba (QS. 2.275). Sektor keuangan berkembang cepat meninggalkan jauh sektor riil. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan antara sektor keuangan dengan sektor riil.
Tercerabutnya sektor moneter dan sektor riil dapat dilihat secara nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif penuh ribawi. Transaksi maya mencapai lebih 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar 5 persen saja.
Islam melarang transaksi derivatif ribawi dan menghalalkan transaksi riil, sebagaimana dalam QS.2:275: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Olehnya itu, berbagai macam kerusakan yang terjadi di bumi ini termasuk kerusakan ekonomi karena perbuatan manusia yang jauh dari syariah Allah swt di mana mereka diingatkan untuk kembali kepada syariatnya (QS.30:40).
Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk Islam terbesar di dunia memulai kesadaran membangun ekonomi syariah, termasuk sangat lambat dibandingkan dengan negara-negara yang mayoritas Muslim termasuk negara-negara yang minoritas muslim lainnya. Dimulai dari sektor perbankan, dengan berdirinya Bank Muamalat pada November 1991.
Prinsip syariah tidak hanya terbatas pada konteks perbankan, melainkan juga meliputi berbagai kegiatan ekonomi dan investasi yang sifatnya non bank, termasuk di pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, BMT, koperasi syariah, asuransi syariah dan sektor riil syariah.
Yang tak kalah pentingnya perbankan konvensional secara umum membuka layanan unit syariah, terlepas pro kontra masyarakat yang masih meragukan nilai-nilai syariah dari perbankan yang memiliki dual system.
Yang jelas, ini merupakan geliat ekonomi syariah yang harus diberikan apreasiasi dan dukungan secara positif untuk membangun ekonomi yang berkeadilan dan penuh berkah. Syariah itu sendiri hanyalah sebuah prinsip atau sistem yang sesuai dengan ajaran Islam. Siapa saja dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia 1998, sistem syariah telah memberikan manfaat bagi banyak kalangan. Tentunya dapat diingat, pada saat itu suku bunga pinjaman melambung tinggi hingga puluhan persen. Akibatnya, banyak dari kalangan pengusaha yang tidak mampu membayar utangnya.
Bahkan banyak bank gulung tikar (dilikuidasi) karena tidak mampu membayar beban bunga tabungan/deposito yang begitu besar (negative spread). Fenomena ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang menggunakan dana dari bank syariah. Para pengusaha tersebut tidak perlu membayar bunga sampai puluhan persen, mereka cukup berbagi hasil dengan bank syariah.
Lalu, seperti apa bank syariah itu? Apa yang membedakannya dengan pengelolaan keuangan konvensional? Jelasnya, berikut penulis akan mengemukakan sejumlah prinsip dasar Bank Syariah.
Pertama, prinsip titipan atau al-wadi�ah, yang dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip (nasabah) menghendakinya.
Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini dengan produk giro wadiah. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank syariah.
Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro wadiah, termasuk pemberian insentif atau bonus untuk merangsang tabungan masyarakat, yang penting tidak disyaratkan/ditetapkan sebelumnya, baik nilai nominal atau persentase dari modal.
Kedua, prinsip bagi hasil al-mudharabah. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama (sahibul maal) menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, di mana pendapatan diperoleh dari porsi keuntungan. Berbeda dengan pola konvensional pendapatan diperoleh dari persentse modal yang sudah ditetapkan dan tidak tergantung pada keuntungan atau kerugian yang diperoleh (QS. 31:34).
Mudharabah apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal (sahibul maal), selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola (mudharib). Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan tabungan. Pada sisi penghimpunan (funding) dana, al-mudharabah diterapkan pada tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Sedangkan pada sisi pembiayaan (financing) al-mudharabah diterapkan untuk pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah bagi hasil. Sedangkan dalam sisi pembiayaan, seseorang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah atau musyarakah. Nisbah keuntungan disepakati dari awal.
Jumlah bagi hasil yang diterima tidak tetap, tergantung pendapatan yang diperoleh. Nisbah bagi hasil dapat digunakan dalam bentuk profit sharing (pendapatan bersih) atau revenue sharing (pendapatan kotor).
Ketiga, prinsip bagi hasil al-musyarakah. Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal termasuk tenaga. Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan dan besarnya porsi bagi hasil yangdisepakati.
Berikutnya, prinsip jual beli (al-ba�i). Dalam skim ini, terjadi jual beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan.
Nilai jual barang ini tetap meskipun terjadi krisis atau terjadi kenaikan harga. Dalam bank konvensional, Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Dan, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah.
Perbedaan berikutnya adalah, bila dilihat secara teknis, sepintas menabung di bank syariah dengan yang berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan.
Hal ini karena baik di bank syariah maupun bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar di antara keduanya.
Pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada akad muamalah syariah, sedangkan pada bank konvensional tidak demikian.
Kedua terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh bank. Oleh karena itu bank harus �menjual� kepada nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi.
Perbedaan antara keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan.
Sebaliknya kalau spreadnya negative maka bank mendapatkan kerugian. Sedangkan bank syariah menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut dibagi bersama untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian nisbah keuntungan yang disepakati di muka.
Ketiga adalah sasaran kredit/pembiayaan. Di bank konvensional dana yang ditabung kemudian dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang bisnis itu sesuai atau tidak dengan prinsip syariah.
Sedangkan di bank syariah, penyaluran simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip syariah. Artinya bahwa pemberian pembiayaan tidak boleh ke bisnis yang haram seperti perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang tidak sesuai dengan syariah. (*) Sumber:fajar.co.id