Wahdah.Or.Id — Dalam dunia pendidikan, setiap peserta didik memiliki kecenderungan belajar yang berbeda.
Ada yang mudah menyerap pelajaran karena materi yang disampaikan secara sederhana, ada pula yang terbantu karena suasana lingkungan yang mendukung.
Namun satu hal yang sering menjadi penentu keberhasilan belajar adalah sosok guru dan metode pengajarannya.
Banyak yang menyukai suatu mata pelajaran bukan karena materi itu sendiri, tetapi karena gurunya menyenangkan dan cara mengajarnya menarik.
Guru yang ramah, semangat, dan kreatif dalam memilih metode pengajaran mampu menjembatani pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang semula terasa sulit.
Sebagai seorang da’i sekaligus tenaga pengajar di perguruan tinggi, Ustaz Dr. Rahmat Abdul Rahman menegaskan bahwa dalam proses belajar, selain materi pelajaran, dua hal yang sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan peserta didik dalam menerima ilmu adalah sosok pengajar dan metode yang digunakan dalam penyampaian.
“Kita ini yang pernah belajar, itu suka kepada mata pelajaran karena dua hal. Guru yang mengajarkan. Yang kedua, cara pengajarannya,” ujar beliau dalam taujihatnya di salah satu kegiatan pelatihan pembelajaran baru-baru ini.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga penentu bagaimana ilmu itu diterima.
Peserta didik kadang tidak ingat isi buku, tapi mengingat jelas bagaimana gurunya menyampaikan pelajaran, bercerita, bahkan menegur atau menyemangati mereka.
Mengajar adalah seni. Tidak cukup hanya dengan menguasai materi, tetapi juga membutuhkan pemahaman karakter peserta didik, pemilihan pendekatan yang tepat, dan penggunaan metode yang variatif.
Menurut Ustaz Rahmat, semakin banyak metode yang dikuasai guru, semakin besar peluangnya menjangkau berbagai gaya belajar.
“Semakin metode kita itu banyak, maka semakin kita bisa mengembangkan pengajaran kita kepada orang lain,” tegasnya.
Ada peserta didik yang belajar dengan mendengar, ada yang harus melihat, mencoba, bahkan berdiskusi.
Karena itu, guru perlu menjadi pengamat yang baik, peka terhadap kondisi psikologis, dan tidak kaku dalam menyampaikan pelajaran.
Dalam Islam, posisi guru sangat mulia. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang pengajar.” (HR. Ibnu Majah no. 229, hasan shahih)
Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam mendidik. Beliau mengajarkan ilmu dengan hikmah, penuh kasih sayang, sabar, dan sesuai dengan kondisi para sahabat. Dalam banyak hadits, beliau menggunakan pertanyaan untuk menggugah nalar, kisah sebagai perumpamaan, dan tindakan nyata sebagai teladan.
Al-Qur’an juga mengarahkan para pendakwah dan pendidik untuk menggunakan pendekatan yang lembut dan bijak.
Allah berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Imam Al-Baghawi dalam Ma‘alim at-Tanzil menjelaskan bahwa hikmah dalam ayat ini berarti perkataan yang sesuai dengan kondisi pendengar dan tepat sasaran. Ini menjadi prinsip penting dalam pendidikan yaitu guru harus mampu menyesuaikan pendekatannya dengan kondisi peserta didik.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Aku membalik lembaran kitab guruku, dan aku menghafalnya sebagaimana aku mendengar ucapannya.” (Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i karya Al-Baihaqi, 2/143)
Perkataan ini menunjukkan bahwa ilmu itu bukan hanya ditransfer lewat kata-kata, tetapi juga melalui perhatian, penghayatan, dan semangat yang ditularkan oleh guru.
Oleh sebab itu, guru perlu hadir dengan tubuh dan hatinya dalam kelas—tidak hanya fisik, tetapi juga perhatian dan kasih sayangnya.
Guru bukan hanya sumber ilmu, tapi juga inspirator dan motivator. Ia tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi membangkitkan semangat belajar, menghubungkan ilmu dengan kehidupan, dan menanamkan nilai bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah.
Dalam Islam, mengajar adalah amal jariyah dan bagian dari jihad fi sabilillah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ajurri dalam Akhlaq al-‘Ulama, “Barang siapa mengajarkan ilmu dan mengharap wajah Allah, maka ia berada di jalan Allah.”
Jika kita ingin mencetak generasi yang cinta ilmu, maka pastikan mereka memiliki guru-guru yang mencintai tugasnya, memahami murid-muridnya, dan terus mengembangkan diri. Guru sejati tidak berhenti belajar, tidak puas dengan metode lama, dan terus beradaptasi dengan zaman.
Akhirnya, pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan, tapi juga bagaimana, oleh siapa, dan dengan semangat apa ilmu itu ditanamkan. Sebab ilmu akan lebih mudah masuk ke dalam hati jika dibawakan oleh guru yang bersahabat dan penuh kasih. [*]