Bagaimana al-qur’an di hati para Sahabat radiallahu anhum ajma’in ?
Ada beberapa pertanyaan selalu menggelayuti hati ketika melihat kondisi kaum muslimin,
“Bukankan Allah itu Maha Penyayang dan sangat menyayangi umat beriman ?.
Bukankan Allah itu Maha berkuasa dan mampu menjayakan kaum muslimin ?.
Bukankan Al Qur’an yang kita baca dalam shalat kita adalah sumber kebahagiaan, kejayaan, kemakmuran bagi yang mengamalkannya ?.
Bukankah kaum muslimin itu umat terbaik yang diutus untuk memimpin, bukan dipimpin umat lain, mendidik bukan dididik umat lain ?.
Bukankah umat Islam dijadikan Allah sebagai umat yang satu ?.
Lalu, jika kita ingin memproyeksikan hakekat di atas dengan kondisi kaum muslimin pada masa kini. Kita akan merenung, “Dimana kejayaan kaum muslimin? Dimana harga diri kaum muslimin? Bahkan, dimana harga darah seorang muslim di mata kaum muslimin sendiri? Dimana kepemimpinan, kejayaan kaum muslimin diatas kaum yang lainnya? Dimana solidaritas sesama kaum muslimin ? Dalam skala nasional maupun internasional .
Allah subhanahu wata’ala berfirman ;
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” ( QS. Al-Hadiid: 16)
“Berkatalah Rasul: wahai Robbku sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang ditinggalkan”(QS. Al-Furqaan: 30).
Ditinggalkan karena mereka tak membacanya, tidak merenungi maknanya dan tidak pula mengamalkan isinya. Karenanya, mari kita merenungi bersama, “Bagaimanakah Al Qur’an dihati Rasulullah dan para sahabat?”
Para sahabat memandang kebesaran Al-Quran dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya. Mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang,
Dari pandangan ini mereka menerima Al Qur’an dengan perasaan bahagia campur perasaan hormat, siap melaksanakan perintah dengan perasaan cemas dan harap. Serta perasaan kerinduan yang amat dalam. Bagaimana tidak? Yang membaca Al Qur’an seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah. Layaknya seorang prajurit menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapatkan pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui. Perasaan inilah yang digambarkan oleh Allah dalam Firmannya :
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (QS. Maryam: 58)
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’ ” ( QS. Al-Israa: 107-109.)
Ini jugalah yang dikatakan oleh Hasan bin Ali Radiallahu ‘anhu “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian memandang Al-qur’an sebagai risalah dari Rabb mereka. Dimana mereka selalu ber-tafakkur mengenai risalah-risalah itu pada malam hari, dan mencari-carinya pada siang hari.” (Aadabuu Hamlatil Qur’an).
Perasaan diatas menyebabkan Ummu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasulullah. Suatu saat Abu Bakar dan Umar radiallahu anhuma berkunjung kepada ibu asuh Rasulullah, Ummu Aiman radiallahu anha dan ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman teringat wafatnya Rasulallah, maka berkatalah Abu Bakar dan Umar, “Kenapa anda menangis sementara Rasulullah mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab,“Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena terputusnya wahyu Allah yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari”, maka saat itu pula meledaklah tangisan mereka bertiga .
Dari perasaan diatas para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan secara spontan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa protes sedikitpun, walau-pun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan kecintaan kepada Allah.
Ketika turun perintah untuk memakai hijab bagi wanita pada surat Al Ahzab : 59, malam hari Rasulullah menyampaikan ayat itu kepada para sahabat, pagi harinya para istri sahabat sudah memakai hijab semua, bahkan `Aisyah radiallahu ‘anha mengatakan, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor, mereka diperintah untuk memakai hijab pada malam hari sementara pada paginya mereka sudah memakainya, bahkan ada yang merobek kelambu mereka untuk dijadikan jilbab”.
Ketika diharamkannya khomr dan ayat itu sampai kepada mereka, saat itu juga langsung mereka membuang simpanan khomrnya dan menuang apa yang masih berada pada tangannya.
Salah satu rahasia keajaiban para sahabat dalam berinteraksi dengan Al Qur’an adalah keimanan mereka kepada Allah, surga dan neraka-Nya, juga kepada janji-Nya, sehingga mereka melakukan sesuatu yang apabila dilihat oleh orang yang tidak memahami latar belakang ini akan sulit menafsirkannya.
Seperti ketika mereka membaca tentang janji Allah buat orang-orang yang berjihad karena cinta kepada Allah, seorang sahabat Umair bin Hamam yang sedang makan korma bertanya: wahai Rasulullah, “Dimana saya kalau mati dalam perang ini ? Rasululloh menjawab “Di surga”, berkatalah Umair : “Sungguh menunggu waktu masuk surga sampai menghabiskan makan kurma tujuh biji ini adalah sangat lama”, akhirnya dibuanglah sisa kurma yang belum dimakan, kemudian memasuki pertempuran hingga menemui syahidnya.
Kondisi keimanan yang tinggi ini menjadi episode kehidupan mereka untuk menjadi bagian dari yang diceritakan oleh Allah dalam Al Qur’an, Hal itu seperti perhatian orang-orang Anshor terhadap orang-orang muhajirin atau perhatian mereka terhadap orang-orang yang lemah.
Seperti yang Allah ceritakan dalam surat Al Hasyr dimana Rasulullah kedatangan tamu, beliau tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya, akhirnya beliau tawarkan hal itu kepada sahabatnya, siapa yang bersedia membawa tamuku malam hari ini?.
Dengan spontan salah seorang sahabat bersedia, namun, ketika sampai di rumahnya ternyata istrinya berkata “tidak ada persediaan makanan kecuali makan malam anaknya, maka sahabat tadi memerintahkan istrinya agar mengeluarkan makanan tersebut untuk tamunya, mengeluarkan dua piring, kemudian mematikan lampu ketika tamunya sedang menyantap makanan tersebut, tuan rumahpun menampakkan seakan-akan ikut makan bersama, agar tamu tersebut bisa makan dengan nikmat, ketika pagi hari sahabat tadi bertemu dengan Rasulullah sembari berkata kepada sahabat tersebut kalau Allah heran dengan apa dia lakukan, maka turunlah firman Allah ayat kesembilan dari surat al Hasyr.
Rasulullah dan para sahabat juga memandang Al Qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al Quran yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al Qur’an serta berusaha untuk bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al Qur’an .
Maka sudah pantaslah ketika Al Qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiqin mulai dari kemalasannya mereka dalam melaksanakan perintah Allah, sedikit berdzikir, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengkoreksi hati mereka dan mencari obatnya, walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit tersebut, berkatalah Abdullah ibnu Mulaikah :
“Aku mendapatkan tujuh puluh dari sahabat nabi, mereka semua takut kalau terkena penyakit nifaq”.
Ketika sahabat Handholah merasa adanya fluktuasi keimanan, segeralah ia datang kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah Handholah adalah seorang munafiq”, berkatalah Rasul Allah : “Kenapa ?” Handlolah menjawab: “Wahai Rasul Allah kalau saya sedang berada disamping engkau dan engkau ingatkan kami dengan surga dan neraka, jadilah surga dan neraka seakan-akan jelas dimata kami, tapi jika kami pulang dan bergaul dengan anak istri serta sibuk dengan harta kami, kami banyak lupa, bersabdalah Rasulullah, “Wahai Handholah kalau kalian berada dalam kondisi seperti itu (seakan melihat surga dan neraka) terus menerus, pastilah para malaikat menyalami kalian dijalan-jalan kalian”.
Dari sensitifitas perasaan Handholah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, ia bisa mengalahkan perasaan ingin dekat dengan istrinya pada malam pertama dan ditinggalkannya untuk berjihad sampai syahid. Padahal, ia belum sempat mandi junub, sehingga kata Rasulullah ia dimandikan oleh para malaikat .
Itulah sifat dan interaksi para sahabat terhadap Al Qur’an. semoga kita bisa mencontoh mereka yang telah bersusah payah untuk kebahagiaan kita, rasa lelah sudah hilang, mereka telah bahagia untuk selama-lamanya. Di dunia sejak zaman mereka sampai hari qiamat selalu dikenang dan didoakan oleh orang yang datang setelah mereka, alangkah bahagianya mereka.
Oleh Ustadz Alif Jumai rajab