Karunia Allah teragung yang dianugerahkan atas umat ini adalah Al-Quran. Kitab tersuci, diturunkan untuk umat paling utama, melalui lisan Nabi dan Rasul termulia, dengan perantaraan pemimpin para Malaikat, dalam untai bahasa terindah, dan makna penuh mukjizat yang tak akan pernah pudar oleh waktu. Sebab itu, bukanlah karunia biasa, bila anda atau anak anda dianugerahkan menjadi pewaris (baca: hafidz) Al-Quran yang khusus dipilih langsung oleh Allah dalam firman-Nya:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Artinya: “Kemudian Kitab itu (Al-Quran) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” (QS Faathir: 32).
Juga bukanlah fadhilah biasa bila anda terpilih menjadi Relawan Al-Quran, yang telah disanjung oleh Nabi kita dalam sabda sucinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”.1
Akan tetapi, bila menyelami banyak problem dan krisis umat saat ini, kita bisa memastikan bahwa faktor utama dibalik semuanya adalah jauhnya mereka dari tuntunan dan manhaj/metode Al-Quran. Umat yang dipilih oleh-Nya sebagai ” Umat Iqra’ ” masih terus menerapkan Hajr (pemboikotan) terhadap Kitab yang diperintahkan atas mereka agar dibaca, dikaji, dihayati, diamalkan, dan dijadikan sebagai tuntunan hidup dan dustur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan tak jarang, banyak muslim yang hanya sekedar mengaji, tanpa peduli dengan makna dan kandungan ayat-ayatnya, padahal tujuan pertama membacanya adalah memahami kandungan maknanya -baik lewat kata, tafsir ataupun terjemahannya-, lalu kemudian diwujudkan dalam amal nyata sesuai kadar kesanggupan. Kejahilan akan tujuan dan visi misi membaca Al-Quran inilah yang membuat ” Umat Iqra’ ” ini cenderung merusak citra dan ajarannya sendiri, serta hanya menjadikannya sekedar bahan bacaan tanpa adanya implementasi akan nilai-nilai perintah dan larangan didalamnya. Oleh karena itu, ada dua poin penting yang wajib diwujudkan oleh seorang muslim dalam membaca Al-Quran agar ayat-ayat sucinya tak hanya sekedar bacaan berpahala, atau hanya bisa menenangkan hati.
Pertama: Membaca Al-Quran Dan Tadabbur
Tadabbur adalah menghayati makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran. Ia merupakan tujuan pertama membaca Al-Quran. Ia merupakan Manhaj dan Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para salaf umat ini dalam membaca dan tadaarus Al-Quran. Tanpanya hati akan tetap terkunci dari hidayah dan petunjuk Al-Quran.2
Allah ta’ala berfirman, artinya: “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Quran, ataukah hati mereka sudah terkunci?” (QS Muhammad: 24).
Imam Ibnul-Qayim rahimahullah berkata: “(Al-Quran diturunkan) bukan untuk dibaca tanpa memahami dan menghayati (tadabbur) sebab Allah ta’ala berfirman: (Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran). (QS. Shaad: 29)…Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata: “Al-Quran turun (kedunia) untuk di-tadabburi (dihayati maknanya) dan diamalkan”.3
Manfaat tadabbur ini, tidak hanya untuk memahami makna Al-Quran, namun juga agar meneguhkan hati, menentramkan jiwa, meluruskan pandangan, dan menjauhkan diri dari hawa nafsu. Ini semua merupakan sisi positif dari tidak terkuncinya hati dari ber-tadabbur. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Bila seorang (qari’) memulai membaca Al-Quran, ia harusnya bersikap khusyu’, mentadabburi bacaannya, dan tunduk (merendahkan diri), sebab nilah yang diharapkan dan diinginkan dari bacaan Al-Quran. Dengan inilah dada menjadi lapang dan hati menjadi bercahaya”.4
Ayat-ayat diatas juga mengisyaratkan, bahwa faktor utama berpalingnya umat islam dan para pembaca Al-Quran dari tadabbur memahami Al-Quran adalah terkuncinya hati yang disebabkan oleh banyaknya dosa dan hawa nafsu, olehnya itu seseorang yang benar-benar ingin hidup dalam naungan hidayah Qurani, hendaknya menjauhi dosa dan maksiat, dan ber-tafakkur dan tadabbur dengan ayat-ayatnya. Sebab ia adalah firman Allah Maha Pencipta, sebuah pedoman universal dan relevan untuk setiap tempat dan waktu, obat hati, penenang jiwa, cahaya dan petunjuk bagi kehidupan manusia, semua ini tidak akan bisa dirasakan hanya dengan sekedar membacanya, namun harus dengan tadabbur penghayatan terhadap makna dan kandungannya yang luas.
Ayat-ayat perintah, larangan, kabar gembira, ancaman, serta kisah-kisah Al-Quran, hendaknya di-tadabburi dan direnungi bahwa semua itu ditujukan kepada diri kita, sebagai hamba Allah dan objek utama Al-Quran ini diturunkan. Dengannya, seorang yang taat bisa terus istiqamah, seorang pendosa akan tersadarkan, seorang yang tersesat akan kembali ternaungi oleh hidayah, bahkan orang yang dirundung kesedihan akan menjadi tentram dan bahagia. Inilah rahasia utama yang menyebabkan para salaf kita menganggap bahwa Al-Quran adalah sumber kebahagiaan terbesar dan solusi utama dan abadi dari berbagai problem dan krisis kehidupan.
Kedua: Membaca Al-Quran Dan Beramal
Tujuan kedua membaca Al-Quran setelah tadabbur adalah beramal dengan kandungan ayat-ayatnya. Seorang muslim yang sungguh-sungguh ber-tadabbur, hatinya pasti akan tergerak untuk mengamalkan kandungan ayat-ayat suci Al-Quran yang dibaca. Sebab tujuan utama ia diturunkan adalah untuk diamalkan, dan diikuti petunjuknya. Olehnya itu, barangsiapa yang berpegang teguh dengan amalan dan petunjuk Al-Quran, maka dalam dirinya telah tertanam sifat taqwa, dan akan mendapatkan curahan rahmat dan keberkahan yang tiada henti, sebagaimana firman-Nya: “Dan ini adalah Kitab (Al-Quran) yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat”. (QS Al-An’am 155).
Amalan dan akhlak Al-Quran inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita dihadapan para sahabat dan seluruh umatnya, sebagaimana dalam ucapan Aisyah radhiyallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak Nabi shallallahu’alaihi wasallam: “Sesungguhnya akhlak Nabiyullah –shallallahu’alaihi wasallam- adalah Al-Quran”. 5
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Makna akhlak Nabi adalah Al-Quran yaitu bahwa beliau beramal dengan Al-Quran, tidak melewati batasan dan aturannya, beradab dengan adab-adab yang diperintahkannya, mengambil ibrah dari perumpamaan dan kisah-kisahnya, serta tadabbur (atas ayat-ayatnya) dan membacanya dengan baik…”.6
Jauhnya umat ini dari petunjuk dan hidayah ilahi, serta kerusakan aqidah dan moral generasi masa kini, merupakan dampak dari jauhnya mereka dari petunjuk dan amalan Al-Quran. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah menegaskan hal ini dalam Khutbah Haji Wada’ Di ‘Arafah dihadapan puluhan ribu para sahabatnya, beliau bersabda: “Sungguh saya telah mewariskan pada kalian (umat islam) pedoman yang kalian tidak akan pernah tersesat bila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitaabullah (Al-Quran)”. 7
Hadis ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari menjauhnya umat dari petunjuk Al-Quran ini adalah terjerumus dalam kesesatan, dan terpuruk dalam kerusakan baik dari segi aqidah, ibadah, tatanan social maupun moral dan akhlak.
Juga wajib diketahui bahwa kewajiban umat ini setelah menjaga kemurnian Al-Quran lewat tulisan mushaf dan hafalan adalah menjaganya dari segi amalan. Barangsiapa yang membaca, menjaga dan menghafal Al-Quran dalam dadanya, namun tidak menjaganya dari segi amalan, maka ia tidak akan mendapatkan keutamaan dan fadhilah bacaan ataupun hafidz Al-Quran, bahkan Al-Quran akan menjadi boomerang baginya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Al Qur’an itu bisa menjadi pembelamu atau musuh bagimu.”8 Mengenai makna hadis ini, Hafizdh As-Suyuthi rahimahullah berkata: “Seseorang akan mendapatkan manfaat dari Al-Quran bila membaca (juga menghafal) dan beramal dengannya, namun bila ia tidak mengamalkannya, maka Al-Quran akan menjadi boomerang/musuh baginya”.9
Terakhir, sudah saatnya umat ini kembali memandang Al-Quran sebagai pedoman hidup, dan solusi abadi bagi problem dan krisis yang terus melanda umat ini. Sebab peradaban dan masa depan cerah umat ini hanya akan bersumber dari Al-Quran, didalamnya terdapat berbagai macam pedoman kehidupan baik dari segi ibadah, akhlak, muamalah, sosial, ekonomi, sains, ataupun sejarah peradaban umat manusia. Hanya saja tinggal membutuhkan munculnya Generasi Rabbani pilihan Allah yang akan membumikan nilai-nilai Al-Quran ini dalam kehidupan nyata. “Kemudian Kitab itu (Al-Quran) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami” (QS Faathir: 32).
Wallaahu ta’ala a’lam.
1 . HR Bukhari (no.5027) dari Utsman bin ‘Affaan radhiyallahu’anhu.
2 .lihat: Madaarij Al-Hifdz wa At-Tadabbur –Syaikh Nashir Al-‘Umar (hal.57).
3 .Madaarij Al-Saalikin (1/451).
4 .Al-Majmu’: 2/164
5 .HR Muslim: 746
6 .Syarah Shahih Muslim: 6/26
7 . HR Muslim: 1218.
8 . HR. Muslim no. 223
9 .Quut Al-Mughtadzi ‘Ala Jaami’ At-Tirmidzi: 2/947