Disebagian besar negara Arab dimana telah terjadi revolusi dalam beberapa tahun terakhir, Islam telah mendapatkan pengaruh atau memegang kekuasaan. Apakah hal yang sama ditakdirkan terjadi di Suriah jika pemerintah sekuler Presiden Bashar Assad digulingkan?
Suriah mungkin tidak tahu jawabannya, tetapi mereka tentu membahas hal tersebut.
Assad dan ayahnya, Hafez Assad, yang memerintah selama 30 tahun, dalam sejarah kekuasaannya telah menindak secara kasar kelompok-kelompok Islam. Sedangkan pihak oposisi Suriah, terdiri dari berbagai faksi sekuler dan Islam. Dan Suriah sendiri adalah multietnis dan masyarakat multiagama yang mencakup Sunni, Syiah, Alawi, Kristen, Druze, dan lain-lain.
Ada Suriah sekuler yang mendukung rezim Assad dan ada Suriah sekuler yang menentangnya. Ada pendukung keagamaan pemerintah dan kelompok oposisi agama. Suriah di perkotaan cenderung lebih khawatir terhadap Islam militan, dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan.
Unggulnya kekuatan kelompok oposisi
Sebagian dari mereka yang mendukung rezim Assad, baik sekuler atau religius, merasa ngeri ketika mendengar Islam disebutkan, terutama ketika mengacu pada pejuang Suriah, yang telah tumbuh kuat di utara negara itu, di tempat-tempat seperti Aleppo.
Aleppo, kota terbesar di negara itu dan pusat komersial, telah menjadi medan pertempuran utama sejak musim panas lalu. Pasukan pemerintah dan pejuang keduanya memegang wilayah dari kota tersebut.
Kebijakan resmi Pemerintah Suriah adalah bahwa Arab Saudi dan negara Teluk lainnya adalah salah satu “konspirator” utama melawan Suriah. Qatar dan negara-negara Teluk lainnya telah mendanai perjuangan di seluruh Suriah.
“Mereka tumbuh seperti jamur, para Islamis, di sekeliling kita di wilayah ini,” kata istri seorang pejabat tinggi.
“Dan Arab Saudi lah yang menyokong dan menyemangati mereka,” katanya. “Mereka adalah penyebab semua masalah kita di sini di Suriah.”
Tapi meskipun perkembangannya tampak dalam popularitas militan Islam, terutama di pedesaan Suriah, banyak oposisi sekular Suriah yang mengatakan mereka tidak percaya bahwa Islam akan memerintah setelah Assad.
Mereka mengklaim bahwa hanya Sunni Arab yang akan memilih kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, yang telah memiliki keberadaan di Suriah selama beberapa dekade.
“Seperti Mesir,” kata seorang aktivis. “Mereka 90 persen Sunni dan Arab, namun [Ikhwanul Muslimin] nyaris menang dengan margin tipis.”
“Jadi bayangkan negara seperti Suriah,” katanya. “Kami hanya 60 persen Arab Sunni. Kelompok Islamis hampir tidak memiliki angka di sini..”
Tentu saja, hal itu mengasumsikan bahwa Suriah akan melaksanakan pemilu yang bebas dan demokratis.
Syiah merupakan minoritas kecil di Suriah.
Terlepas dari apa yang mungkin muncul setelah Assad, banyak kaum minoritas yang telah memikirkan tentang apa yang akan mereka lakukan ketika rezim Assad runtuh.
“Kami akan pergi,” kata Hanan, seorang nenek dan seorang Syiah yang taat yang tinggal di lingkungan Damaskus. “Karena kita tahu bahwa siapa pun yang mengambil kendali setelah Assad, ia akan melakukan pembantaian terhadap kami.”
Kebanyakan kaum minoritas tersebut memiliki ketakutan yang sama dengan Hanan. Hal ini juga dialami sekte Alawi, sekte yang dimiliki oleh Assad. Populasi mereka sekitar 10 persen, namun telah memiliki posisi teratas sejak Hafez Assad memiliki kekuasaan yang besar dalam kudeta 1970. Para Alawi berpikir mereka akan dibunuh atau, paling tidak, diturunkan ke warga negara kelas dua.
Penulis, adalah warga Suriah di Damaskus, tidak diidentifikasikan oleh NPR untuk alasan keamanan. Banyak warga Suriah yang diwawancarai meminta agar nama lengkap mereka tidak digunakan, untuk keselamatan mereka.
Sumber : npr.org