Kisah yang begitu menyentuh hati, ‘Aisyah binti Abu Bakr Ash-Shidiq Radhiallahu’anhuma, bukti mulianya wanita oleh Ilmu karena Islam.
Angin menghembuskan nafasnya ketika menerbangkan butiran-butiran pasir, luka, dan kepedihan di sebuah lembah yang tak terpandang oleh peradaban. Mekah sedang tertutupi kehinaan oleh penyembahan berhala para penduduk dan peziarahnya. Tuhan-tuhan batu yang mereka agung-agungkan memiliki tatapan kosong yang diyakini sebagai kearifan sesembahan. Meskipun mereka tahu Tuhan yang sebenarnya bukanlah batu-batu akik merah yang telah mereka pahat ataupun besi yang mereka cetak. Melainkan Ia, Tuhan yang telah menciptakan. Namun adrenalin pembangkangan melesat melebihi kecepatan angin ketika meniupkan badai pasir di musim panas.
Meskipun ‘Aamul Hazn atau tahun kesedihan telah berlalu, namun bekas-bekas perjuangan telah menjadi bagian dari pengawal penyebaran dakwah Islam. Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam merasakan kehilangan yang begitu mendalam atas kepergian dua orang yang sangat berjasa dalam masa perjuangannya menyebarkan dakwah Islam, Abu Thalib sang paman dan Khadijah Radhiallahu’anha sang istri tercinta yang menyelimutinya di pembaringan tatkala berlari dari gua tsur setelah bertemu dengan sosok Jibril ketika membawa wahyu yang pertama. Kini hari-hari dakwah terasa lebih berat dan kesedihan ditinggal mati orang tercinta sempat terbesit di hatinya.
Dilain sisi keberkahan, dimana tak pernah ada bunga yang menghempaskan serbuk sari ke langit-langit dunia, seorang anak perempuan yang memiliki paras halus nan lembut tumbuh bersama kecerdasannya. Lauhul mahfudz telah digoreskan, sebuah nama yang kelak akan dikenal sebagai sumber paling akurat para pengembara pencari ilmu, ialah para ‘ulama’ yang akan menghafalkan ratusan ribu untaian kata-kata saksi bukti telah kembalinya peradaban yang memanusiakan manusia. ‘Aisyah mendapati takdir hidupnya tidak hanya sebagai sosok teman hidup seorang manusia mulia, yakni sang pembawa risalah Tuhan, namun juga menjadi mahaguru yang memperdengarkan ilmu-ilmu kebenaran yang akan membentang keseluruh penjuru dunia hingga kiamat kelak.
Beberapa saat setelah berlalunya ‘Aamul Hazn, lelaki mulia yang ketampanannya tak luntur oleh masa itu meminang ‘Aisyah, putri sang sahabat setia, yang menemaninya kala dikejar kafir-kafir Quraisy saat hijrah ke Madinah. ‘Aisyah terjaga kesuciannya dan merdeka akalnya akan kesesatan penduduk Mekah. ‘Aisyah lah satu-satunya istri Abu al-Qasim yang masih perawan ketika dipersunting. Bunga bunga dunia semerbak bak bertaburan mengiri langkah demi langkah ‘Aisyah menuju kediaman Rasulullah untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun dalam ikatan pernikahan.
‘Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435).
Seorang lelaki dengan paras mudanya yang melekat tak menghilang, berkulit putih dan bercahaya, serta tampan berambut sebahu dengan dada bidang dan perut seperti batu-batu yang tersusun. Lelaki yang sangat dipercaya, selalu berkata jujur, cerdas, dan menyampaikan berita gembira kepada siapapun. Keahliannya dalam gulat dan berperang. Seorang pemimpin yang arif dan adil. Detik demi detik bersamanya adalah keberkahan, dan ‘Aisyah tahu betul bahwa dirinya adalah wanita yang teramat sangat beruntung untuk dapat menjadi teman tidur lelaki mulia itu.
Suatu hari orang-orang Habasyah masuk masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau mau melihat mereka?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tempelkan wajahku pada pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia menjawab: “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi pertanyaannya, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.” (HR. An-Nasa’i (5/307), lihat Ash Shahihah (3277))
Humairah yang berarti pipi kemerah-merahan, begitu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil istrinya. Mereka hidup dalam rasa cinta dan penghambaan diri kepada Tuhan Sang Pencipta.
‘Aisyah hidup bersama sumber ilmu, ia tumbuh sebagai gadis kecil yang beranjak remaja, merekam semua perbuatan dan perkataan Rasulullah.
‘Aisyah bercerita, “Suatu waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menemuiku sedang aku tengah bermain-main dengan gadis-gadis kecil.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apa ini wahai Aisyah.” Lalu aku katakan, “Itu adalah kuda Nabi Sulaiman yang memiliki sayap.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat (8/68), lihat Shahih Ibnu Hibban (13/174))
Allah telah melebihkan kepada wanita muda itu, ia menjadi sumber yang akurat dalam menjawab berbagai permasalahan.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah dikumpulkan dengna ilmu seluruh para wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11))
Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita yang paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa kemaslahatan untuk umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))
Telah turun bantuan Tuhan dari langit ke tujuh menyelamatkan nama ‘Aisyah dari tuduhan zina yang dilontarkan para munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, “Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka, siapa saja di antara mereka yang keluar undiannya, maka dialah yang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau ikuti. Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) lalu berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali dari perang tersebut.
Ketika telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan keperluanku. Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba dadaku, ternyata kalungku dari merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi untuk mencari kalungku, sementara rombongan yang tadi membawaku telah siap berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan memberangkatkannya di atas untaku yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa aku berada di dalamnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Pada masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup yang ringan ketika mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa mereka akan merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”
“Ketika sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di belakang para tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam sosok seseorang, lantas ia menghampiriku. Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia pernah melihatku sebelum ayat hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya (bacaan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun dari mulutnya selain ucapan istirja sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu ia memijak kaki depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata dengan menuntun kendaraan sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di tengah hari. Maka, binasalah orang yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang yang memperbesar masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”
“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)
Ketawadhu’annya melebihi rasa untuk membenci, ‘Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tetnangku melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari (4141))
Pasca khutbah Nabi di masa haji wada’, Wahyu terakhir turun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu” (Q.S. al-Maidah ayat 3).
Nabi membacakan ayat tersebut dihadapan para sahabat, Abu Bakar menangis. Ia begitu peka merasakan itulah masa-masa dimana risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saat-saat Nabi harus kembali menghadap Tuhan semesta alam.
Saat detik-detik sakratulmaut datang, Nabi berada di pangkuan Aisyah. Abdurahman bin Abu Bakar datang membawa siwak, dan Nabi memandang ke arahnya.
“Mau aku ambilkan untukmu?” tanya Aisyah kepadanya.
Nabi menganggukkan kepala menandakan setuju. ‘Aisyah mengunyah siwak itu, digosokkan ke mulut beliau dengan lembut dan perlahan. Nabi lalu memasukkan tangannya ke dalam sebuah bejana air yang ada di dekatnya. Ia mengusap air itu ke wajahnya seraya berkata, “Laa ilaaha illallah, sesungguhnya setiap kematian ada sekaratnya.”Betapa hati ‘Aisyah sedang bercampur aduk antara harus mengikhlaskan kepergian sang kekasih hati dan kesedihan akan berpisah ditinggal mati.
Kemudian Nabi mengangkat tangannya dan memandang ke langit, bibirnya bergerak-gerak dan berucap, “Bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah maha mengetahui.”
Beliau melanjutkannya dengan berkata, “Ya Allah, ampuni dan kasihanilah aku, pertemukan aku dengan teman-teman yang tinggi (kedudukannya), ya Allah pertemukan aku dengan teman-teman (yang tinggi kedudukannya).”
Ia mengulangi kalimat tersebut sebanyak tiga kali. Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam sedang menanti pertemuannya dengan Tuhan yang telah mengutusnya. Tangannya mulai lemah, matanya teduh dalam kedamaian dan akhirnya sang jiwa yang suci melepaskan raga.
Cahaya kini tak kan lagi sama, alam pun bersedih. Rasulullah wafat dalam keadaan bersandar antara dada dan leher ‘Aisyah. Kemudian Aisyah meletakkan kepala Rasulullah di atas bantal.
‘Aisyah berusaha tegar dan kuat. Tidak mudah hidup ditinggal orang yang sangat dikasihi. Teman hidup yang selama ini merangkulnya, melewati suka dan duka dakwah bersama. Namun ia memutuskan untuk tangguh dan siap melanjutkan perjuangan untuk agama ini sebagai bentuk penghambaannya kepada Allah, Tuhan seluruh alam yang telah memuliakan dirinya untuk dihidupkan di saat itu, di saat manusia paling mulia hidup, bukan sebelumnya di masa lalu, bukan pula di masa depan.
‘Aisyah mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan menyampaikan untaian-untaian kata yang akan menjadi cahaya petunjuk bagi permasalahan umat. Ia menyaksikan banyak sekali perbuatan, sikap, perkataan dan hukum yang disampaikan suaminya.
Ummu Al-Mukminin ‘Aisyah merupakan mahaguru di bidang hadits dan fiqih, sehingga ia memiliki banyak sekali murid, di antaranya dari mereka adalah para tabi’in. Para pengembara pencari ilmu. Mereka sadar guru mereka ini begitu mulia dan begitu suci. Mereka yang ingin belajar atau talaqqi dengan ‘Ummu al_Mu’minin ‘Aisyah harus duduk dibelakang pembatas, sedangkan ‘Aisyah mengajarkan mereka dari Raudha.
Adapun di antara murid yang sangat dekat dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan mendapatkan perhatian yang lebih, sehingga bisa langsung duduk dengan ‘Aisyah adalah mahram-mahram nya, seperti Abdullah bin Zubair, ‘Urwah bin Zubair, Qosim bin Muhammad, Abdullah ibn Abi ‘Athiq, ‘Ubad bin Abdullah bin Zubair, Khobib bib Abdullah bin Zubair, ‘Ubad bib Hamzah bin Abdullah bin Zubair, dan Abu Salamah bin Abdurrahman. Mereka semua begitu bersemangat mengambil riwayat hadits dari ‘Aisyah, dan yang paling banyak mengambil riwayat dari ‘Aisyah adalah ‘Urwah, sehingga ‘Urwah pun menjadi salah saatu ulama besar di Madinah. Begitu mulianya sang mahaguru. ia adalah kunci dari terbukanya banyak pintu-pintu keilmuan.
‘Aisyah sangat berhati-hati dalam menyampaikan ilmu. Ia tak mau terjerumus dalam kekeliruan. Ia tak kan pernah mempermudah suatu hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya di dalam Alquran dan Sunnah. Hal itu masuk akal karena ‘Aisyah memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah jika menemukan sesuatu permasalahan atau pertanyaan yang belum ia pahami tentang suatu ayat.
Abu Umar ibn Abdu al-Barr, di dalam kitabnya mengatakan, “Sayyidah Aisyah merupakan perempuan tunggal di zamannya, yang menguasai tiga ilmu sekaligus, yaitu ilmu fiqih, ilmu kedokteran dan ilmu sya’ir.” (al-Isti’ab li ibn Abd al-Barr, Juz 4, halaman 357)
‘Aisyah telah didik oleh manusia mulia. Kekuatannya dalam ilmu menjadikan namanya bersanding dengan para periwayat hadist terkenal lainnya seperti, Abu Hurairah, ‘Umar bin Khattab, Ibnu ‘Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Malam begitu tenang dan syahdu. Bunga-bunga dunia seakan kembali bertaburan menebarkan wewangian menyambut kedatangan para tamu langit yang suci. ‘Aisyah sadar dirinya akan segera kembali bertemu dengan sang kekasih hati. Udara sejuk berhembus pelan di malam selasa bulan Ramadhan tahun lima puluh delapan Hijriah. ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha telah melepas segala dukanya dan bersiap menuju Tuhan yang telah menciptakannya. Ia meninggal ketika berusia enam puluh tujuh tahun dalam tenang dan damai. Ia berwasiat untuk dimakamkan di Baqi’ pada malam hari. Jasadnya yang terbaring menunjukkan bukti kejayaan wanita muslim dalam ilmu dan pengetahuan.
Ia berakhir dengan penghargaan yang setinggi-tingginya, seorang guru besar yang menjadi jembatan para pengembara pencari ilmu. ‘Aisyah disholatkan oleh Abu Huroiroh bersama kaum Muslimin lainnya setelah melaksanakan sholat witir. Dan ketika dimakamkan ada lima orang yang turun untuk menyambut ‘Aisyah, di antaranya adalah Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair, anak dari saudari kandungnya, Asma’ binti Abi Bakar.
‘Ummu al-Mukminin ‘Aisyah, telah mengabdikan dirinya sebagai mahaguru. hati dan akalnya merdeka dari kejahiliyahan. Kematiannya bukanlah akhir segala-galanya. Namanya terus dikenang dan disebut dalam periwayatan hadist-hadist. ‘Aisyah sang mahaguru, bukti mulianya wanita oleh Ilmu karena Islam.
Penulis : Ahmad Daud