Niat dalam sebuah amalan ibadah merupakan perkara yang wajib, suatu amalan ibadah hanya akan sia-sia belaka tanpa adanya niat sebagaimana dalam hadis Muttafaq’alaihi : “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya”. .( Diriwayatkan Al-Bukhari ; 1, dan Muslim ; 1907)
Jenis-Jenis Niat
Niat ini terbagi dua ;
Pertama : Niat ikhlas, yaitu tanpa adanya sifat riya’ atau merasa terpaksa dalam mengamalkan suatu ibadah. Keikhlasan niat ini sangatlah penting karena ia adalah tolak ukur diterima atau ditolaknya suatu amalan. Bahkan walaupun telah ikhlas tetap saja besar kecilnya pahala dari suatu amalan tergantung dari besar kecilnya keikhlasan niat.Abdullan Ibn Al- Mubarak-rahimahullah- berkata :
رب عمل صغير تعظمه النية,,و رب عمل كبير تصغره النية
Artinya:”Bisa jadi amalan kecil menjadi besar dengan sebab niat,dan sebaliknya bisa jadi amalan yang besar menjadi kecil dengan sebab niat”1
Sebab itu Wajib bagi seseorang yang beribadah –termasuk puasa- untuk selalu memelihara keikhlasan niat ini disiang harinya ,serta mempertahankannya dan menjauhi segala perbuatan yang dapat menghilangkan rasa ikhlas dan menimbulkan riya’ dan sum’ah
Kedua : Niat menyengaja untuk beribadah, yaitu berniat dalam hati untuk melakukan suatu ibadah tertentu, niat ini memiliki beberapa fungsi diantaranya :
1. Membedakan antara amalan yang berupa ibadah dan adat kebiasaan,misalnya membedakan antara mandi janabah dengan mandi biasa atau antara menahan makan minum karena puasa dan menahan makan minum dengan tujuan diet.
2. Membedakan antara amal ibadah yang satu dengan lainnya,misalnya membedakan antara shalat dzuhur dan shalat ashar, atau membedakan antara puasa wajib dan puasa sunat, atau antara puasa ‘aasyuraa dan puasa ‘arafah.
Sebab itu dalam ibadah puasa diwajibkan seseorang untuk berniat puasa sebagaimana wajib pada amalan ibadah lainnya. Namun ada sedikit perbedaan antara niat puasa wajib (puasa ramadhan, nadzar, kaffarah, qadha) dengan puasa-puasa sunat.
Hukum Melafalkan Niat Jenis Kedua Ini Dengan Lafal Tertentu
Apakah niat dalam ibadah ini perlu dilafalkan dilisan ataukah hanya didalam hati ?
Agar lebih dipahami, maka inilah jawaban ringkasnya :
Amalan terbagi dua yaitu amalan hati dan amalan anggota badan ( yang berupa amal dan ucapan lisan ). Setiap amalan harus dilakukan dengan anggota yang telah ditetapkan atasnya,sebab itu niat yang merupakan amalan hati tidak boleh dipindahkan menjadi amalan lisan dengan cara melafadzkannya.
Jamaluddin Abu Ar-Robi’ Sulaiman bin ‘Umar As-Syafi’i -rahimahullah- berkata : “Melafadzkan niat dan mengeraskan bacaan di belakang imam bukanlah termasuk sunnah bahkan makruh dan jika hal itu mengganggu orang-orang yang sedang shalat maka haram ,dan barangsaipa yang mengatakan bahwa melafadzkan niat merupakan sunnah maka ia salah, dan tidak halal baginya dan orang selainnya ( yang sependapat dengannya ) untuk berkomentar tentang agama Allah tanpa ilmu .” 2
Niat Puasa Wajib
Dalam puasa wajib : seorang muslim diwajibkan untuk meniatkan puasa sejak malam sebelum terbitnya fajar kedua yang merupakan tanda masuknya waktu azan atau shalat subuh.Ini sesuai hadis mawquf dari Ibnu Umar ,dan Hafshah radhiyallahu’anhum ;
( من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له )
Artinya : “Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum waktu fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR Ahmad ; 2/286, dan Empat Ahli Sunan)3
Walaupun hadis ini mawquf pada Ibnu Umar dan Hafshah namun dari kalangan sahabat tidak ada yang menyelisihinya,dan sebagian ulama menganggapnya memiliki hukum marfu’, sebab itu jumhur ulama termasuk imam madzhab yang empat berpendapat bahwa puasa wajib tidah sah kecuali harus dengan meniatkannya sebelum waktu fajar.
Dikecualikan dalam beberapa keadaan yaitu :
1.Seandainya seseorang tidak mengetahui masuknya bulan ramadhan hari itu kecuali pada pagi harinya ,maka ia hendaknya berniat puasa ramadhan saat itu juga walaupun ia telah makan ,minum atau jimak sebelumnya dan ia tidak wajib mengqadhanya.
2.Juga sama halnya dengan seorang anak yang dewasa (baru mimpi basah) tepat pada siang hari puasa ramadhan ,atau seorang kafir yang masuk islam pada siang hari puasa ramadhan maka mereka disuruh untuk berniat puasa saat itu juga dan tidak wajib mengqadhanya.Ini sesuai hadis Salamah bin Akwa’ radhiyallahu’anhu dalam Shahihain ketika puasa asyuraa masih diwajibkan :
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر رجلاً من أسلم أن أذن في الناس أن من أكل فليصم بقية يومه، ومن لم يأكل فليصم فإن اليوم يوم عاشوراء
Artinya : “Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan seseorang dari Bani Aslam untuk mengumumkan kepada orang-orang (pada hari asyuraa) bahwasanya siapa yang telah makan maka hendaknya berpuasa pada yang tersisa pada hari itu, dan barangsiapa yang belum makan maka hendaknya berpuasa ,karena hari ini adalah hari ‘aasyuraa”. (HR Bukhari ; 2007 dan Muslim ; 2725, dan dalam Sunan Abu Daud ; 2447, ada tambahan lafadz : “dan hendaknya kalian mengqadhanya pada hari lain”, namun tambahan perintah qadha ini tidak shahih (syaadz/dhoif) dan yang benar dan shahih adalah riwayat Shahihain diatas yaitu perintah menyempurnakan puasa pada hari itu tanpa harus mengqadhanya.
Catatan : Puasa asyura’ ini yang awalnya wajib, kemudian diqiyaskan dengan puasa wajib lain termasuk Ramadhan. Walaupun hukum puasa asyura kemudian berubah menjadi sunat, namun hukum yang terdapat dalam hadis diatas (yang berkaitan dengan qadha puasa wajib) tetap diterapkan dalam puasa wajib (ramadhan). wallaahu a’lam.
Niat Puasa Sunat :
Adapun dalam puasa sunat ,maka niat terbagi 2 yaitu :
Pertama : Dalam puasa sunat muthlaq yaitu puasa yang waktunya tidak terikat pada hari-hari tertentu ; maka seseorang disunatkan berniat sebelum terbitnya fajar kedua, dan dibolehkan berniat setelah terbitnya fajar kedua atau waktu subuh dengan dua syarat :
1.Antara waktu terbitnya fajar kedua (awal waktu subuh) dengan niatnya tersebut ,ia belum melakukan salah satu dari pembatal-pembatal puasa seperti makan, minum, jima’, atau pembatal lainnya.
2.Niat tersebut dilakukan sebelum waktu zawal (tengah hari ketika matahari tepat diatas kepala ; sekitar 10 – 15 menit sebelum waktu zuhur).
Hal ini sesuai dengan amalan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadis Aisyah radhiyallahu’anha :
دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
Artinya : “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (Kurma yang dicampur dengan minyak dan keju lalu dihaluskan).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” Lalu beliaupun memakannya .(HR. Muslim : 1154).
Ini adalah pendapat jumhur ulama, adapun Ibnu Hazm maka ia tidak mensahkan puasa -baik wajib atau sunat- kecuali dengan niat sebelum fajar terlebih dahulu.
Kedua : Dalam puasa sunat Muqayyad yaitu puasa sunat yang terikat dengan waktu tertentu seperti ‘aasyuraa, ‘arafah, senin kamis, dan puasa sunat lainnya. Maka puasa seperti ini tidak sah kecuali harus berniat terlebih dahulu sebelum fajar ,karena telah jelas dalam hadis Aisyah diatas tentang niat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa hal itu adalah puasa sunat muthlaq bukan muqayyad. Namun sebagian ulama juga mengqiyaskan puasa muqayyad ini dengan puasa sunat muthlaq diatas tentang bolehnya berniat setelah fajar. Akan tetapi untuk kehati-hatian lebih baik meniatkan puasa sunat muqayyad ini sebelum fajar. Walaahu a’lam.
Tambahan faedah :
1.Manfaat penetapan waktu imsak yang biasanya ada dalam jadwal waktu-waktu shalat adalah hanya sebagai peringatan akan dekatnya waktu fajar kedua / waktu azan, sebab itu seseorang tetap boleh makan dan minum setelah waktu imsak ini selama waktu subuh belum masuk.
2.Untuk mengetahui masuknya waktu shalat subuh/terbitnya fajar kedua ,seharusnya dengan menggunakan jadwal waktu-waktu shalat yang terpercaya dan akurat, karena begitu sulitnya mengetahui terbitnya fajar di ufuk timur secara langsung kecuali bagi mereka yang ada dipedesaan. Hal ini sebagai antisipasi dan kehati-hatian karena banyak para muadzin yang mengumandangkan azan tidak tepat waktu.
1 . ( lihat : Jami’ al-‘Ulum wa Al-Hikam ; 15.dan Siyar Al-A’lam : 8/400)
2 . (Al-A’lam:3/194).
3 .Abu Daud (2454), Tirmidzi (730), AnNasai (4/196) dan Ibnu Majah (1700). Sanad hadis ini dari jalur : Ibnu Wahb dari Yahya bin Ayyub ,dan riwayat Ibnu Wahb ini disepakati lewat Mutaba’ah oleh Ibnu Lahi’ah (dalam Sunan Abu Daud ) dari Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm, keduanya (Yahya dan Abdullah) dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar dari Hafshah secara marfu’. Akan tetapi riwayat marfu’ ini diselisihi oleh murid-murid Az Zuhri yang tsiqah. Abu Daud berkata : “Hadis ini diriwayatkan secara mawquf pada Hafshah oleh Ma’mar, Az Zabidi, Ibnu ‘Uyainah dan Yunus ,semuanya dari Az Zuhri (secara mawquf)”. Al Bukhari berkata (‘Ilal Kabir : 118) : “Hadis ini didalamnya terdapat idh-thirab (kontradiksi dari segi sanadnya), dan yang shahih dari Ibnu Umar adalah mawquf”. Pendapat mawquf ini juga dipilih oleh Kibar ahli hadis lainnya : Nasai, Tirmidzi,Ahmad, Abu Hatim, Ibnu Abdilbarr, Ibnul Qayim, Ibnu Abdil Hadi dan lainnya (lihat ; ‘Ilal Ibni Abi Hatim ; 1/225, Khulaashatu AlBadr AlMunir ; 1/319, AsSunan AlKubra ; 2/117, Zaadul-Ma’ad ; 2/74 dan At-tanqih ; 2/1280).
Adapun riwayat mawquf dari Ibnu Umar ; ada dalam Muwatha’ Malik (1008) dari Nafi’ dari Ibnu Umar, dan sanad ini adalah salah satu sanad paling shahih.
Sedangkan riwayat mawquf dari hafshah : ada dalam Sunan Nasai (2336) dari jalur Abdullah dari Ibnu Uyainah , Ma’mar dan Jama’ah lainnya ,semuanya dari Az Zuhri dari Hamzah dari Ibnu Umar dari Hafshah. Sanad ini shahih.