(Al Balagh Ed.79/Th.II/Safar/1428 H)
Di sini, di belantara kehidupan ini, kita butuh tenaga besar, energi yang cukup untuk terus mengejar cita-cita. Tetapi, tidak mudah memelihara sebuah cita-cita.
Tidak jarang cita-cita yang kita sudah dicanangkan dan dimantapkan berguguran di tengan jalan. Macam-macam penyebabnya; pergaulan, jalur pendidikan, tekanan sosial dan lingkungan dll. Yang jelas perjalanan waktu akan senantiasa menjadi batu ujian bagi ketahanan sebuah cita-cita.
Pada edisi yang lalu kita telah berbicara tentang cita-cita yang mestinya ada dalam benak setiap Muslim. Kali ini al-Balagh akan mencoba menjelaskan bahwa sebuah cita-cita mulia harus didorong dan dikawal oleh tenaga (‘azimah) lebih agar apa yang kita harapkan tercapai secara maksimal. Selamat menyimak!
1.Menetapkan Tujuan Akhir.
Setiap kita hendaknya senantiasa menggantungkan cita setinggi-tingginya. Inilah yang kita maksud dengan tujuan akhir. Sebab segala sesuatu bermula dari sini. Apa yang kita angankan atau tepatnya apa yang kita cita-citakan itulah yang akan menuntun langkah-langkah kita. Jika sesuatu yang kita cita-citakan mulia, maka langkah kita juga akan mulia. Sebab sepak terjang anda gambaran dari apa yang anda pikirkan. Lihatlah shahabat yang mulia Abdullah bin Umar, ketika beliau duduk bersama beberapa orang tabi’in di serambi ka’bah. Beliau mengajak mereka semua agar masing-masing menyebutkan cita-citanya. Setelah semuanya bertutur, beliau lalu berkata:”Ana uridul jannah (saya mau surga) !”.
Sebagian orang mungkin berpendapat, hidup ini tidak memerlukan cita-cita besar, apalagi mimpi. Alasannya sederhana, bahwa sering cita-cita yang tinggi itu kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan yang menyakitkan. Akan tetapi cara pandang seperti ini tidak sepenuhnya benar. Kegagalan mungkin menyakitkan. Menuai hasil tidak seperti yang diharapkan memang pahit. Tapi, mereka yang memilih jalur aman, atau mereka yang ingin sukses dengan menjauhi tantangan, sesungguhnya, tidak sedang berjalan di jalan kehidupan yang wajar. Lihatlah kehidupan orang-orang besar dalam sejarah ummat kita, kebesaran mereka dikenal justru karena mereka melalui cobaan yang berat sebelum meraih hasil yang gilang gemilang. Sebab dinamika hidup ada pada pusaran pertarungan manusia dengan masalah yang mereka hadapi. Karena itu bercita-citalah dan bersiaplah menghadapi tantangan dan rintangan. Dan patut dicamkan adalah tidak ada kemuliaan bagi mereka yang tidak memiliki cita-cita!
2. Raih Cita-cita Itu Sesuai Dengan Yang Kita Sukai.
Setiap cita-cita harus dikejar dengan setiap pengorbanan dalam waktu yang tidak sebentar. Tidak ada kemuliaan yang bisa kita raih dengan gratis. Hidup mengajarkan kepada kita bahwa apa yang diraih dengan mudah justru gampang pula lenyapnya. Cita-cita kita mungkin istimewa, tapi bagi orang lain biasa-biasa saja. Sebaliknya cita-cita orang lain bagi mereka istimewa, tapi bagi kita ia biasa-biasa saja. Semua kembali pada kadar pemaknaan kita tentang cita-cita itu.
Maka, keyakinan dan perasaan bahwa pilihan cita-cita yang kita jadikan sebagai tujuan itu terasa begitu istimewa, akan memberi kita kekuatan yang luar biasa. Rasa suka di sini tidak berarti semaunya. Tapi bagaimana kita memadukan antara cita-cita dengan kepuasan jiwa kita. Karena itu pertemuan antara minat dan cita-cita akan melahirkan ledakan kehendak dan kesiapan kerja yang luar biasa. Pertemuan antara kecocokan hati dan cita-cita akan melahirkan spirit kerja yang sangat bertenaga. Allah berfirman: ”Setiap orang beramal sesuai dengan kemampuannya”.(
Inilah Rabi’ah Ka’ab al-Aslami ketika diperintahkan oleh Rasulullah meminta pada beliau. Maka Rabi’ah berkata: ”Aku ingin menemani Anda di Surga!”. Shahabat Rabi’ah yang memiliki banyak keterbatasan, memilih cara yang paling ia bisa yaitu dengan menemani Rasulullah dan melayani keperluan malam beliau dengan menyediakan air wudhu. Dan dari sanalah kesempatan emas itu muncul; kesempatan bersama beliau di surga.
3. Bergurulah.
Kalau Anda sudah termasuk dalam barisan orang-orang yang memiliki cita-cita besar maka, carilah orang yang kira-kira bisa mengantar Anda ke pulau cita-cita. Dengan kata lain bergurulah…! Sebab seorang guru akan menerbangkan Anda negeri harapan. Guru tidak hanya berfungsi mentransfer ilmu semata kepada muridnya, tapi juga berkewajiban memberi taujih (arahan), membimbing, menyuntikkan motivasi, memperbaharui semangat Anda dst. Inilah Imam Ibn al-Qayyim dengan teman-teman beliau yang berkata saat-saat genting: ”Kami dulu kalau merasakan perasaan takut yang amat sangat, maka kami pergi ke Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, maka ketika kami melihat wajahnya saat itu juga rasa takut kami hilang”. Beginilah seharusnya pemilik cita-cita, selalu butuh pada sosok seorang guru. Saat jiwa melemah, sang guru datang menguatkan, saat motivasi mengendor sang guru datang mengukuhkan. Setelah itu jiwa sang muridpun jadi fresh !
Kalau kita membuka lembaran hidup orang-orang besar sepanjang sejarah Islam, maka kita akan mendapati mereka pasti memiliki seorang guru. Lihatlah para shahabat, radliallahu ’anhum,guru mereka adalah Rasulullah,shallallahu ’alaihi wasallam. Para tabi’in berguru kepada para shahabat, dan generasi sesudahnya berguru kepada para tabi’in. Para ulama kita, sebelum mereka beguru kepada orang lain mereka terlebih dahulu mendapatkan ilmu sekaligus bimbingan dari orang tua mereka. Setelah itu, baru berguru pada orang lain. Itulah sebabnya, meski mereka kebanyakannya tidak belajar dan berguru seformal sekarang, akan tetapi mereka bak bintang kejora yang menghiasi langit zamannya.
Karena itu, bergurulah…! atau lebih tepatnya carilah murabbi…!
4. Topang Cita-cita Dengan Kekuatan.
Sebuah cita-cita besar membutuhkan kekuatan yang konstan. Semacam bahan bakar bagi sebuah kendaraan. Kendaraan, meski model terkini, supir hebat, tidak akan berjalan tanpa bahan bakar. Di sini, cita-cita besar membutuhkan penopang sekaligus penggeraknya: kekuatan…!
Mungkin tidak banyak orang yang terkumpul pada dirinya dua pilar sekaligus: cita-cita dan kekuatan. Di antara orang-orang baik yang populasinya sedikit, tidak banyak di antara mereka yang punya kekuatan diri. Akibatnya cepat goyah menghadapi cobaan dan ujian. Sehingga cita-cita hanya hebat pada ucapannya, tapi kehebatan itu hanya di bibir saja. Begitu juga sebaliknya, ada banyak orang yang kuat fisiknya, tapi sayang, miskin kebaikan dan buruk perangainya. Inilah kenyataan yang sering kita saksikan.
Jadi, alangkah sedikitnya orang yang berpadu pada dirinya dua perangai sekaligus: kuat dan sekaligus baik. Dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh salah seorang putri Syu’aib melalui firman Allah: ”Sesungguhnya orang paling baik yang kau sewa (untuk bekerja pada kita)ialah yang kuat lagi dapat dipercaya”.(al-Qashash:26). Lemah, kurang semangat adalah pantangan pemilik cita-cita agung. Sebab tidak ada yang bisa diraih dengan keloyoan dan kelesuan. Itulah sebabnya Islam mewajibkan kita menjadi orang kuat. Rasulullah bersabda: “Lobalah kalian terhadap apa saja yang memberi manfaat kepada kalian, minta tolonglah pada Allah dan janganlah bersikap lemah”.
Karena itu, latihlah diri kita, untuk mengejar cita-cita yang telah kita canangkan. Katakan pada jiwa kita, bahwa ia harus berpacu, terus dan terus. Katakan padanya, selalu dan selalu, bahwa penghentian itu bukan di sini. Istirahat dan nyantai bukan di sini, tapi di sana; di surga…!
Nasalullaha at-taufiq was sadat.