Ada Nilai yang “Unlimited” BELAJAR DARI SARIROTI

Date:

Ada Nilai yang “Unlimited” BELAJAR DARI SARIROTI

Oleh: Ustad Muhammad Ihsan Zainuddin

Sariroti mengajarkan kita satu hal penting.

Terlepas dari kajian marketing tentang kesalahan “pengumuman blunder” itu, Sariroti mengajarkan kita tentang pentingnya loyalitas (al-Wala’) dan anti-loyalitas (al-Bara’).  Betapa bahwa dalam hidup ini, ada yang jauh lebih bernilai dari sekedar keuntungan bisnis. Betapa bahwa dalam bisnismu, ada nilai yang tak terjamah yang harus selalu kau perjuangkan. Sebuah nilai yang “unlimited”;  tak terhingga hingga kau rela mengorbankan segenap yang kau punya.

Sariroti telah menunjukkan kepada kita al-Wala’ dan al-Bara’-nya. Bahwa ia berWala’ kepada “Wali”nya yang entah siapa. Dan bahwa ia berlepas diri (Bara’) dari aksi 212 kita yang indah.

Maka malulah kita sebagai muslim yang belum menjelaskan hidupnya kepada siapa ia memberikan al-Wala’ dan al-Bara’-nya. Malulah kita sebagai muslim yang masih bingung siapa “Wali” kita? (NB: Kata “wali” itu berakar kata dari kata “al-Wala’”) Masih bingung siapa “kawan” dan “lawan”. Masih bingung siapa “sahabat”, siapa “musuh”.

Maka terjadilah tragedi yang lebih memprihatinkan. Kita yang sudah ikut kajian bertahun-tahun, tapi masih saja keliru dalam membumikan “al-Wala’ wa al-Bara’” kita.

Karena tidak setuju dengan ijtihad “Aksi Super Damai 212”,  lalu ada yang merasa bahagia hatinya  jika ada ketergelinciran dalam aksi mulia ini. Senyumnya mengembang puas, jika ada ada satu atau dua tetes noda dalam lautan aksi super damai ini.  Tidurnya baru terasa nyenyak, jika para ulama dan jutaan kaum muslimin dicibir oleh musuh Islam.

Seringkali tanpa sadar, karena kebencian yang hebat pada bid’ah, kita lupa bahwa bid’ah itu tidak sama kualitasnya. Kita lupa bahwa muslim yang kita tuduh melakukan bid’ah itu masih menyandang predikat “muslim” dalam kebid’ahannya. Dan karena ia masih muslim, ia adalah saudaramu!!!
Ia layak mendapatkan nasehat lembutmu.
Ia layak mendapatkan doa-doa tulusmu.
Terkadang ia pun layak menerima teguran kerasmu.
Tapi bukan dengan semangat memuaskan amarahmu yang dahaga.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- mengatakan:
“Jika dalam diri seseorang (muslim) berkumpul kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan serta kemaksiatan, sunnah dan bid’ah, maka ia berhak mendapatkan Wala’ dan pahala sesuai dengan kadar kebaikan pada dirinya. Dan ia pantas pula mendapatkan sikap permusuhan dan hukuman sesuai dengan kadar keburukan pada dirinya. Sehingga pada diri seseorang, terkumpullah apa yang melayakkannya  mendapatkan pemuliaan serta penghinaan…”
(Majmu’ al-Fatawa, 28/209)

Kali lain, beliau menulis:
“Di antara pelaku bid’ah itu ada yang miliki iman pada batin dan zhahirnya; namun padanya ada kejahilan dan kezhaliman hingga ia terjatuh dalam kesalahannya pada Sunnah. Maka (yang seperti) ini bukanlah orang kafir atau munafiq. Lalu bisa jadi padanya ada kedurhakaan dan kezhaliman, hingga ia menjadi fasiq atau pendosa. Bisa jadi pula ia tersalah dalam menakwilkan, sehingga kesalahannya diampuni. Bisa jadi pula ia memiliki iman dan taqwa, yang (membuatnya) layak mendapatkan pertolongan dari Allah sesuai dengan kadar iman dan taqwanya.” (Majmu’ al-Fatawa, 3/353-354)

Yah, Manhaj Ahlussunnah mengajarkan kita untuk belajar menakar cinta dan benci dengan adil. Karena ketakwaan itu; adalah saat rasa bencimu tak membuatmu lupa bersikap adil. Saat rasa bencimu tak menghunjammu berbuat zhalim.

Memang sulit sekali tunaikan amalan indah ini, Kawan, jika kita tak punya rasa keadilan yang kukuh dalam diri. Jika kita hanya bisa “menyamaratakan” orang lain. Jika kita hanya gemar “membumihanguskan” vonis di luar kelompok kita.

Belajarlah kita pada kelapangan jiwa dan kebersihan hati seorang Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah; saat ia berujar tentang mereka yang memusuhi bahkan mengkafirkannya:
“…dan aku berlapang dada terhadap siapa yang menyelesihiku. Kerna sungguh jika ia melampaui batasan-batasan Allah terhadap diriku; dengan mengkafirkanku, memfasikkanku, menuduh palsu atau tindakan fanatisme jahiliyah (terhadapku), maka aku takkan melampaui batasan-batasan Allah terhadap dirinya. Bahkan aku akan mengendalikan apa yang aku katakan dan perbuat. Dan aku akan menimbangnya dengan timbangan keadilan…” (Majmu’ al-Fatawa, 3/245-246)

Maka nasehatku, Kawan:
Tuntutlah ilmu dengan kebeningan hati.
Bukan dengan jiwa penuh kemarahan dan kebencian.
Belajarlah Islam bukan dengan semangat kedengkian.
Hadirilah majlis ilmu untuk mentazkiyah hati,
agar hati kita “saliim” saat menghadapNya.
Bukan dengan semangat menikmati “pembid’ahan” dan “penyesatan”.

Semoga ilmu itu memudahkan jalanku dan jalanmu meniti jejak-jejak Firdaus tanpa hisab dan adzab yang mendahuluinya.Amin.

Akhukum wa Muhibbukum fiLlah,
Muhammad Ihsan Zainuddin
#KamiAlumni212

Sumber:Halaman Fanpage Kuliah Islam Online. com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share post:

Subscribe

spot_img

Popular

More like this
Related

Regenerasi Kepemimpinan Dewan Pengurus Daerah Wahdah Islamiyah Kabupaten Soppeng Merupakan Buah Pengkaderan

SOPPENG, wahdah.or.id - Pengukuhan pengurus Dewan Pengurus Daerah (DPD)...

Berkumpul Di Banjarmasin, DPD Wahdah Islamiyah Se-Kalimantan Selatan Bahas Rencana Strategis Lewat Mukerda

BANJARMASIN, wahdah.or.id - Bertempat di Rumah Quran Wihdatul Ummah...

Targab Nasional Sukseskan GSD 2025, Ustaz Zaitun Paparkan Kemenangan-Kemenangan yang Diraih Kaum Muslimin di Zaman Nabi

MAKASSAR, wahdah.or.id – Departemen Kaderisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP)...

Bangun Peradaban Islam Lewat Dialog Pemuda, Wahdah Islamiyah Baubau Launching Kampung Literasi

BAUBAU, wahdah.or.id - Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah...