Permasalahan lain (1):
Jika anda yang tidak membolehkan maulid, bagaimana cara anda menyikapi orang-orang yang merayakan maulid nabi ??
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya bahwa tingkat pelanggaran dalam acara maulid nabi berbeda-beda. Ada yang pelanggarannya sangat berat, dengan memasukkan ritual syirik dan sesajen didalamnya,, ada yang lebih ringan –meskipun berat juga- yaitu dengan berjoget ria melantunkan shalawat dan tahlilan dengan iringan alunan musik, dan ada yang shalawatan atau tahlilan dengan cara yang biasa saja, juga ada yang hanya mencukupkan peringatannya dengan pembacaan atau ceramah tentang kelahiran dan sejarah kehidupan nabi. Semua ini harusnya disikapi sesuai dengan berat ringan pelanggaran syar’inya. Sehingga orang yang hanya membacakan sejarah kehidupan Nabi (dengan mengikuti pendapat Ibnu Hajar atau Al-Suyuthi), tidaklah sampai ditahdzir apalagi sampai dimusuhi. Bahkan orang yang melakukan kemungkaran didalam perayaan maulid ini, hendaknya didakwahi atau didebat secara hikmah dan bijaksana, tidak perlu dicela dan disesat-sesatkan secara berlebihan sebagaimana yang banyak kita saksikan di medsos hari-hari ini.

Permasalahan lain (2):
Apakah Ibnu Taimiyah membolehkan maulid nabi ??
Terlepas apakah anda mengikuti Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam perkara maulid ini atau tidak, kita tetap harus mengkaji apakah memang beliau membolehkan perayaan maulid sebagaimana yang banyak disebarkan ??

Jawabannya adalah:
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah sama sekali tidaklah membolehkan perayaan maulid nabi, hanya saja ada beberapa komentarnya seputar maulid yang bisa dipahami bahwa beliau membolehkannya –bila komentar tersebut dipotong dan tidak dinukil seluruhnya-. Ada tiga komentar beliau yang kemudian sengaja dipotong untuk menampakkan bahwa beliau membolehkan maulid, ternyata hal ini merupakan kezaliman ilmiyah yang tidak dibenarkan dalam islam.
Inilah 3 komentar tersebut –yang kesemuanya dalam kitab Iqtidha’ Shirat Al-Mustaqim- dengan beberapa catatan ringkas:

Pertama: (Dalam Jilid 2 Hal. 123), beliau berkata: “Menjadikan hari ini (maulid nabi) sebagai hari raya/peringatan merupakan bentuk perkara baru yang tidak ada asalnya. Tidak ada dari kalangan salaf baik dari ahli bait atau selain mereka yang menjadikan hari ini sebagai hari raya peringatan agar melakukan didalamnya berbagai amalan (peringatan). Sebab hari raya merupakan diantara bagian ajaran syariat islam, sehingga penentuan hari raya ini wajib dengan ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasul), bukan dengan ibtidaa’ (membuat-buat perkara baru baru). Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melakukan khutbah, perjanjian dan perang dalam hari-hari yang berbeda misalnya hari perang badr, hunain, khandaq, fathu mekah, hari hijrah, hari masuknya beliau ke Madinah, serta khutbah-khutbah yang mengandung pokok-pokok agama ini (dalam hari-hari berbeda). Akan tetapi beliau sama sekali tidak mengharuskan untuk menjadikan hari-hari tersebut sebagai hari raya yang diperingati. Sebab yang melakukan hal-hal seperti ini adalah Kaum Nasrani yang selalu menjadikan hari-hari peristiwa penting Nabi Isa sebagai hari raya, dan juga Kaum Yahudi. Sesungguhnya hari raya adalah sebuah syariat, sehingga bila ia disyariatkan maka harus diikuti, dan bila tidak disyariatkan maka tidak boleh membuat-buat hari raya baru yang bukan bagian dari syariat. Demikian pula yang dibuat-buat oleh sebagian manusia (dengan hari raya maulid), kadang tujuannya untuk menandingi Kaum Nasrani dalam perayaan hari raya kelahiran Nabi Isa (Hari Natal), atau KADANG SEBAGAI BENTUK KECINTAAN DAN PENGAGUNGAN KEPADA NABI, YANG MANA MUNGKIN SAJA ALLAH MEMBERIKAN MEREKA PAHALA KARENA RASA CINTA DAN KESUNGGUHAN TERSEBUT, tapi (pahala itu) bukan karena penyelenggaran perkara baru  dalam peringatan maulid nabi. Sebab, disamping para ulama berbeda pendapat tentang penetapan hari lahir beliau, juga hal ini tidaklah dilakukan oleh para salaf, padahal acara peringatan ini bisa saja mereka lakukan, dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk merayakannya walaupun mungkin baik. Bahkan bila hal ini merupakan suatu kebaikan atau sesuatu yang benar, niscaya para salaf akan lebih pantas untuk merayakannya dari pada kita, sebab mereka lebih mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan lebih bersemangat melakukan kebaikan dibanding kita semua”.

2. Kedua:
(Dalam Jilid 2 Hal. 124), beliau berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap beliau hanya terbatas dalam meneladani, mengikuti, dan mentaati perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara lahir dan batin, menyebarkan ajaran yang dibawanya, serta berjihad menyebarkannya dengan tangan, dan lisan, karena hal ini merupakan jalan hidup orang-orang terdahulu dari kalangan muhajirin dan anshar beserta orang-orang yang mengikuti jalan mereka diatas kebaikan. KEBANYAKAN ORANG YANG ANDA DAPATKAN MELAKUKAN BID’AH-BID’AH SEMACAM INI –WALAUPUN MEREKA MEMILIKI NIAT YANG BAIK DAN KESUNGGUHAN YANG DENGANNYA MEREKA DIHARAPKAN MENDAPAT PAHALA- engkau akan mendapatkan mereka lalai dari mengerjakan perintah Rasul, lalai dari mengerjakan amalan yang diperintahkan agar mereka sungguh-sungguh melakukannya, akan tetapi mereka seperti orang yang menghiasi mushaf, namun tidak membacanya, atau membacanya namun tidak mengikuti perintahnya, juga seperti orang yang memperindah masjid namun ia sendiri tidak shalat, atau shalat namun sedikit…”.
CATATAN UNTUK POIN SATU DAN DUA DIATAS: Bila anda hanya membaca kalimat yang berhuruf capital diatas atau memotong dan menukilnya tanpa menyertakan ucapan Ibnu Taimiyah secara sempurna, maka akan dipahami bahwa Ibnu Taimiyah membolehkan maulid bahkan menyatakan adanya pahala dibalik perayaan maulid ini. Namun bila disertakan semuanya, tentu akan dipahami bahwa Ibnu Taimiyah sangat melarang perayaan maulid ini, adapun maksud ucapan beliau yang berhuruf capital diatas adalah: Bahwa orang yang merayakan maulid karena memiliki rasa cinta dan pengagungan kepada Nabi, maka ia akan diberi pahala bukan karena ia melakukan perayaan maulid nabi, tapi karena ia mencintai dan mengagungkan Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Adapun bid’ah yang ia lakukan maka tetap dianggap sebagai dosa dan pelanggaran.

3.Ketiga: (Dalam Jilid 2 Hal, 126), beliau berkata: “MENGAGUNGKAN MAULID DAN MENJADIKANNYA SEBAGAI HARI RAYA KADANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN ORANG DENGAN MENDAPATKAN PAHALA DIKARENAKAN NIAT BAIKNYA DALAM MELAKUKANNYA. Ini karena pengagungannya terhadap Rasulullah (dengan amalan bid’ah maulid ini) –sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya- kadang baik dilakukan oleh sebagian orang (muslim yang awam), namun tidak baik bila dilakukan oleh seorang muslim yang baik/berilmu. Sebab itu Imam Ahmad ditanya tentang sebagian penguasa yang menyumbangkan 1000 dinar untuk menghiasi mushaf, maka beliau menjawab: Biarkan saja mereka, karena mushaf ini merupakan tempat paling utama yang mereka infakkan. Padahal madzhab Imam Ahmad adalah bahwa menghiasi mushaf hukumnya makruh…”.

CATATAN: Bila membaca kalimat yang berhuruf capital secara sepintas, maka akan disimpulkan bahwa beliau sangat memuji perayaan maulid bahkan menyatakan adanya pahala bagi yang melakukannya. Namun bila membaca ucapan beliau setelahnya, maka akan mendapati beberapa kesimpulan berikut:

1-Ibnu Taimiyah hanya menjelaskan bahwa orang yang melakukan maulid dengan niat baik kadang ia akan diberikan pahala karena niat baiknya, bukan karena perayaan maulidnya, sebagaimana yang beliau katakan: “Barangsiapa yang memiliki niat baik, maka ia akan diberikan pahala walaupun amalan yang ia lakukan tidak masyru’ (bid’ah), dengan syarat ia melakukannya bukan karena sengaja untuk menyelisihi syariat”. (Iqtidha Shirath Al-Mustaqim: 2/251).

Maksud beliau dengan orang yang tidak sengaja menyelisihi syariat disini adalah orang jahil yang tidak tahu hukum tentangnya. Mereka melakukan hal itu dengan niat baik, tanpa tahu akan hukumnya, sehingga dengan niat baik tersebut mereka bisa saja (bukan pasti !!) mendapatkan pahala, akan tetapi amalan bid’ah yang dilakukannya tetap dianggap bid’ah, dan bagi orang jahil tentu tidak akan diberikan dosa bila mereka tidak mengetahui hukumnya. Hal ini beliau tegaskan lagi dalam ucapannya: “Seseorang kadang melakukan suatu amalan yang ia anggap baik, dan ia tidak tahu bahwa hal itu tidak boleh, namun ia tetap diberikan pahala karena niat baiknya, dan ia dimaafkan karena ketidaktahuannya tentang hukumnya…” (Iqtidha Shirath Al-Mustaqim: 2/290).

Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa hal itu ” baik dilakukan oleh sebagian orang (muslim yang awam), namun tidak baik bila dilakukan oleh seorang muslim yang baik/berilmu”, karena orang awam yang jahil tentu lebih dimaafkan bila melakukan kesalahan dibandingkan dengan orang berilmu yang berbuat salah.

2-Ucapan Ibnu Taimiyah diatas dalam konteks penjelasan untuk tidak mengingkari kemungkaran yang mana pengingkaran terhadapnya akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Sebab itu beliau memberikan contoh pada ucapan Imam Ahmad, bahwa menghiasi mushaf dengan biaya 1000 dinar adalah kemungkaran, namun Imam Ahmad tidak mengingkarinya karena kalau ia mengingkarinya, maka uang 1000 dinar tersebut akan diinfakkan pada buku yang tidak mengandung kebaikan. Sehingga amalan penguasa tersebut yang asalnya tidak disyariatkan, dianggap lebih baik daripada menginfakkan 1000 dinar tersebut pada kitab lain yang tidak memiliki faedah apapun. Demikian pula orang-orang awam yang tidak mengetahui hukum merayakan maulid, bila kita mengingkari mereka akan mendatangkan mudharat yang lebih besar seperti mereka akan berpaling dari agama atau kecintaannya kepada Nabi akan berkurang, maka pada saat itu tidak perlu diingkari karena niat baik mereka dalam perayaan tersebut lebih baik dibandingkan bila mereka berpaling dari agama ini. Inilah maksud Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan bukan berarti beliau membolehkan perayaan maulid nabi.
Inilah tiga ucapan Ibnu Taimiyah dalam satu kitab “Iqtidha Shirath Al-Mustaqim” semuanya menunjukkan bahwa beliau membid’ahkan amalan maulid, namun bila ada orang jahil yang melakukannya karena atas dasar cinta terhadap Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam maka orang tersebut mendapatkan pahala karena cinta tersebut, namun ia tetap harus diajarkan tentang kebenaran dan pendapat yang haq dalam masalah ini, Wallaahu a’lam.

Oleh Ustad Maulana La Eda, Lc. Hafizhahullah

Asalnya tulisan ini merupakan materi pelajaran Grup Whats App  Belajar Islam Intensif (BII), dipublish kembali di web ini atas idzin dari penulis hafidzahullah. Gabung Grup WA BII, Ketik BII#Nama#Daerah, Kirim ke: 08113940090

Artikulli paraprakAcara Peringatan Maulid Nabi: Antara Ungkapan Cinta dan Logika Sunnah (Bagian 1)
Artikulli tjetërSerial Sirah Nabawiyah [10] dari Kitab Al-Khulaashoh al-Bahiyyah fiy Ahdaats as-Siyrah an-Nabawiyah