Selalu saja ada cinta, keimanan yang bertambah tatkala membuka lembaran kehidupan Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sebab kecintaan terhadap beliau dan terhadap sunnahnya merupakan konsekuensi syahadat “Anna Muhammadan Rasulullah”. Akan tetapi kecintaan ini hanya akan bertepuk sebelah tangan bila sunnah-sunnah yang dicontohkannya hanya dilalaikan dan tidak dihiraukan sama sekali. Tentunya ungkapan cinta terhadap beliau harus sesuai dengan sunnah dan tuntunan yang dibawanya, dan ditunjukkan kepada umatnya. Ungkapan cinta ini harus terealisasi dalam empat poin penting, yaitu:
1.Mentaati perintahnya.
2.Membenarkan sabdanya.
3.Menjauhi larangannya.
4.Tidak beribadah kecuali dengan cara atau syariat yang beliau ajarkan.
Empat poin inilah yang menjadi syarat dan konsekuensi keimanan kita terhadap kenabian dan kerasulannya. Hanya saja, salah satu perkara yang masih terus menjadi perbedaan pendapat antara para ulama islam sejak 10 abad lalu adalah ungkapan cinta terhadap Nabi Muhammad dalam bentuk acara peringatan Maulid Nabi. Inilah tema bahasan yang menjadi jawaban seputar pertanyaan tentang hukum perayaan maulid nabawi. Disini saya tidak akan banyak menukil tentang dalil dan hujjah seputar boleh tidaknya perayaan maulid sebab sudah terlalu banyak dibahas dan diulas dalam berbagai tulisan, namun saya hanya akan menukil beberapa poin penting seputar masalah ini, yang mungkin juga sudah diulas dalam tulisan teman-teman. Selamat membaca !!
Barangsiapa yang menelaah literatur-literatur islam klasik akan mendapati adanya dua poin penting yang menjadi pusat bahasan seputar Maulid Nabi ini:
Poin Pertama
Sumber atau faktor utama adanya perbedaan pendapat seputar peringatan maulid nabi ini adalah absah tidaknya kaidah terbaginya bid’ah menjadi bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi-ah / bid’ah dhalalah (bid’ah yang buruk dan sesat).
Sebab itu, Anda akan mendapati bahwa semua ulama yang membolehkan acara peringatan maulid (termasuk para imam: Muhyiddin Al-Nawawi, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Syamsuddin Al-Sakhawi, Jalaluddin Al-Suyuthi, Ibnu Hajar Al-Haitami, dan selain mereka) menyandarkan kebolehan acara peringatan tahunan maulid nabi ini pada kaidah terbaginya bid’ah menjadi hasanah dan sayyi-ah.
Sebaliknya, ulama yang tidak membolehkan perayaan semacam ini (termasuk para imam: Tajuddin Al-Fakihani Al-Maliki, Al-Syathibi Al-Maliki, Ibnu Al-Haj, Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, Ibnu Taimiyah dan selain mereka) menyandarkan ketidak bolehannya pada nash global yang mengesahkan bahwa semua bid’ah dalam perkara agama adalah sayyi-ah (buruk dan sesat).
Muara kedua pendapat ini tentunya terletak pada perbedaan paham tentang nash hadis shahih “Kullu bid’atin dhalalah” (Semua bid’ah sesat). Yang menyatakan terbaginya bid’ah menjadi hasanah dan sayyi-ah (yaitu ulama yang membolehkan perayaan maulid nabi) berdalil bahwa makna “Semua bid’ah sesat” tidak seglobal yang dipahami, namun bermakna “sebagian besar bid’ah adalah sesat”, artinya bid’ah itu semua sesat namun ada pengecualian terhadap beberapa bid’ah yang dianggap hasanah atau baik.
Adapun yang menyatakan bahwa bid’ah itu hanyalah sayyi-ah dan dhalalah, maka berdalil bahwa makna “semua” dalam hadis diatas adalah global, dan tidak memiliki pengecualian, sehingga semua bentuk bid’ah atau perkara baru dalam agama maka dianggap buruk dan sesat termasuk perayaan maulid nabi.
Titik atau pusat perbedaan pendapat dalam perkara berbilang tidaknya bid’ah ini merupakan diantara kajian ushul fiqh yang juga telah berlangsung selama berabad-abad dan merupakan diantara perkara yang rumit dan detail, yang tidak mungkin diselesaikan hanya dalam satu pembahasan tulisan, ceramah, ataupun seminar. Disini saya tidak akan membahas permasalahan ini, sebab telah banyak dibahas oleh banyak ustadz-ustadz (dari kedua pihak yang pro dan kontra) dalam ceramah atau tulisan-tulisan mereka baik dibuku-buku ataupun tulisan-tulisan yang tersebar di dunia maya.
Hanya saja ketika kita mencermati amalan Nabi kita, para sahabat, para tabiin, dan para imam dan ulama yang hidup di 300 tahun pertama hijriyah, kita akan mendapati bahwa selama kurun 3 abad itu mereka sama sekali tidaklah mengenal yang namanya perayaan maulid nabawi ini, bahkan anda tidak akan mendapati salah seorang dari mereka –termasuk Imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Syaf’i, Ahmad bin Hanbal rahimahumullah- membahas permasalahan ini dalam kitab-kitab mereka, baik kitab hadis, fiqh atau lainnya. Perkara ini mencuat dan menjadi pembahasan para ulama setelah 400 tahun dari kelahiran Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Oleh karena itu, yang lebih selamat bagi agama seorang muslim adalah meninggalkan peringatan-peringatan seperti ini dan tidak ikut serta bergabung didalamnya, dengan alasan:
1.Karena Nabi, para sahabat dan para salaf kita termasuk imam yang empat tidak mengenal apalagi melakukan perayaan maulid ini.
2.Sebagai bentuk kehati-hatian terhadap keselamatan agama kita, sebab bila perayaan maulid itu merupakan perkara sunnah atau mubah maka kita tidak akan berdosa karena meninggalkannya, namun apabila ia adalah bid’ah, maka anda akan berpahala bila meninggalkannya, bahkan telah menyelamatkan agama anda dengan tidak ikut serta didalamnya.
Poin Kedua
Bahwasanya para ulama yang membolehkan acara perayaan maulid nabi memberikan syarat-syarat tertentu dalam perayaannya. Artinya mereka sama sekali tidak membolehkan maulid nabi ini diselenggarakan begitu saja tanpa adanya syarat dan batasan-batasan tertentu. Berikut nukilan dari para ulama yang membolehkan peringatan maulid nabi dengan syarat-syaratnya:
1.Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: “… Sudah seyogyanya kita mencukupkan diri didalamnya (peringatan maulid nabi) dengan rasa syukur kepada Allah ta’ala … Adapun bila didalamnya terdapat lagu atau musik atau perkara haram lainnya, maka dikatakan (sesuai kaidah): bila amalan-amalan tersebut mubah yang mana dapat menambah kegembiraan pada peringatan hari itu maka boleh memasukkannya dalam perayaan maulid, adapun bila amalan tersebut haram atau makruh maka harus dilarang…”. (Al-Ajwibah Al-Mardhiyah: 3/1116).
2.Al-Hafidz Jalaluddin Al-Suyuthi: “Pokok utama amalan maulid adalah berkumpulnya orang-orang, lalu membaca ayat-ayat Al-Quran dan membacakan riwayat-riwayat kelahiran Nabi shallallahu’alaihi wasallam beserta tanda-tanda mukjizat seputar kelahirannya. Setelah itu memberikan mereka (para hadirin) makanan agar mereka menyantapnya, lalu selesai tanpa menambah-nambahnya lagi”. (Dari bukunya: Husnul-Maqshad fi ‘Amal Al-Maulid).
Dua nukilan ini memberikan pencerahan pada kita semua bahwa:
1).Acara maulid yang dibolehkan Ibnu Hajar dan Al-Suyuthi adalah sebatas apa yang dibolehkan oleh syariat dalam pelaksanaannya, dan tidak memasukan didalam acaranya hal-hal yang melanggar syariat seperti nyanyian dan musik, ataupun pujian yang ghuluw atau berlebihan terhadap diri Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Al-Suyuthi hanya menyatakan cukup berkumpul membaca Al-Quran lalu membacakan sirah Nabi, setelah itu makan-makan dan selesai.
Tanggapan: Walaupun bentuk peringatan yang disebutkan Ibnu Hajar atau Al-Suyuthi ini lebih ringan dibandingkan dengan bentuk peringatan maulid lainnya yang terdiri dari nyanyian musik, tahlilan dan shalawatan sambil menggoyang badan, atau sampai meyakini kehadiran ruh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Namun hendaknya kita berpikir; kenapa mesti mengkhususkan perayaan dan pembacaan sirah Nabi ini pada hari kelahiran Nabi, padahal Nabi sendiri tidak pernah merayakan kelahirannya bahkan sama sekali tidak pernah menyuruh umatnya untuk melakukannya. Bila memang ia adalah suatu amalan yang baik dan utama, kenapa beliau sama sekali tidak menyinggungnya dalam sabda-sabdanya, bahkan kitab-kitab hadis tidak ada yang menyinggung peringatan maulid nabi ini. Ini setidaknya menunjukkan bahwa mengikuti petunjuk Nabi, para sahabat, para tabiin, dan ulama setelah mereka yang tidak mengenal perayaan ini lebih utama dan lebih menyelamatkan agama seseorang. Hal inilah yang dijadikan oleh para ulama semisal Ibnu Al-Haj, Al-Syathibi, Al-Fakihani dan Ibnu Taimiyah untuk mengkritik perayaan maulid nabi ini.
2.Acara maulid ini diadakan sebagai bentuk rasa syukur lahirnya Nabi dan kecintaan terhadap Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Dalam Kitab Al-Ajwibah Al-Mardhiyah Ibnu Hajar rahimahullah mengqiyaskan (menyamakan) antara hukum perayaan maulid nabi ini dengan hari asyuraa yang diperingati oleh umat islam dengan puasa sebagai rasa syukur kepada Allah, sebab pada hari itu Nabi Musa ‘alaihissalaam dan Bani Israil diselamatkan dari Firaun dan bala tentaranya.
Tanggapan: Namun sekali lagi, kita semua harus berpikir, kenapa Nabi shallallahu’alaihi wasallam hanya menyuruh kita berpuasa sebagai bentuk peringatan dan rasa syukur selamatnya Nabi Musa dan Bani Israil pada hari asyuraa, namun beliau sama sekali tidak memerintahkan kita untuk memperingati hari kelahirannya, tidak dengan ucapan syukur dan tidak pula dengan puasa. Ini setidaknya menunjukkan bahwa hari asyuraa’ telah ditetapkan oleh Allah sebagai hari puasa dan syukuran atas selamatnya Nabi Musa, adapun hari maulid nabi sama sekali tidaklah dijadikan sebagai salah satu hari yang harus disyukuri setiap tahunnya layaknya hari asyuraa. Adapun cinta Nabi: maka cara yang paling tepat untuk mencintai beliau adalah mengagungkan diri beliau, serta meneladani sunnah, akhlak dan ibadahnya dalam kehidupan ini. Beliau sama sekali tidak pernah menyuruh kita untuk mencintainya dengan memperingati hari kelahirannya dengan berbagai jenis acara dan kegiatan. Sekali lagi, inilah yang dijadikan para ulama lainnya semisal Ibnu Al-Haj, Al-Syathibi, Al-Fakihani dan Ibnu Taimiyah untuk mengkritik perayaan maulid nabi ini. Ibnu Taimiyah berkata: “Kebanyakan orang yang anda dapati melakukan bid’ah-bid’ah semacam ini … engkau akan mendapatkan mereka lalai dari mengerjakan perintah Rasul, lalai dari mengerjakan amalan yang diperintahkan agar mereka sungguh-sungguh melakukannya” (Iqtidha Shirath Al-Mustaqim: 2/124).
Wallaahu a’lam.
Bersambung ke https://wahdah.or.id/acara-peringatan-maulid-nabi-antara-ungkapan-cinta-dan-logika-sunnah-bagian-2/
Oleh Ustad Maulana La Eda, Lc. Hafizhahullah
Asalnya tulisan ini merupakan materi pelajaran Grup Whats App Belajar Islam Intensif (BII), dipublish kembali di web ini atas idzin dari penulis hafidzahullah. Gabung Grup WA BII, Ketik BII#Nama#Daerah, Kirim ke: 08113940090