Setiap pilihan memiliki konsekwensi. Demikian adanya ketika seorang hamba beriman kepada yang disembahnya. Maka, bagi seorang Muslim yang Mukmin, hendaknya ia mengetahui apa saja hal yang menjadi kewajibannya setelah menyatakan keimanannya kepada Allah dan hari akhir. Karena beriman itu adalah hal yang diikrarkan dengan lisan, diyakini dengan hati dan diimplementasikan dengan perbuatan amal sholeh.

Dalam kehidupan, pilihan-pilihan sangatlah banyak terhampar di depan mata. Allah memberikan otoritas memilih itu kepada kita sebagai manusia. Kenapa pilihan itu ada? Karena kita sebagai manusia, Allah bekali dengan akal.

Tuk itulah, dalam al qur’an kita akan dapati, Allah memberikan pilihan kepada hamba-Nya, jika ingin beriman dipersilahkan dan jika ingin kufur, pun dipersilahkan. Dan semua pilihan itu memilki konsekwensi.

Firman-Nya,

فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ

Terjemahannya, “Barang siapa menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman. Dan barangsiapa menghendaki (kafir), biarlah dia kafir.” (Al-Kahfi: 29)

Yang beriman, silahkan beriman. Dan yang kafir, silahkan kafir. Dan semua plihan itu memiliki konsekwensi yang harus ditepati. Pada tulisan kali ini, satu hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallah ta’ala ‘anhu mengingatkan kita tentang beberapa konsekwensi bagi seorang Mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Tentu, konsekwensi keimanan tidak terbatas pada tiga hal yang ada pada hadist berikut. Namun, tiga hal ini, Nabi kita ingatkan karena tiga hal ini adalah hal penting untuk diperhatikan oleh setiap Mukmin.

Rasulullah ﷺ bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ» (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan ia mengganggu tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pertama; Berkata Baik Atau Diam

Sangat erat hubungannya antara perkataan yang baik dengan keimanan kita kepada Allah dan hari akhir. Karena dalam al-qur’an, Allah ingatkan bahwa apa yang kita lontarkan, apa yang kita ucapakan, entah itu hal yang baik atau hal yang buruk. Semuanya dicatat oleh Malaikat yang Allah utus.

Firman-Nya;

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

Terjemahannya: “Tidak ada suatu kata yang diucapkan pun melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (Qaf: 18)

Satu peribahasa yang masyhur diantara kita “Diam itu Emas”. Disatu sisi, peribahasa ini tidak boleh kita amalkan ketika syariat ini ada yang menistanya. Namun, hukum asalnya perkataan yang tidak ada gunanya, diam adalah hal yang lebih baik untuk dilakukan. Betapa mengerikan balasan ketika lidah yang tak bertulang ini begitu cerewet dan tidak mampu diam dan dengan tenangnya sipemilik melontarkan kata-kata dan kalimat yang tidak ada faedahnya. Bahkan Nabi sendiri mengingatkan untuk menjaga lisan ini.

Nabi pernah ngobrol dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan beliau menasehatinya untuk menjaga lisan.

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ  ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.

“Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih)

Mari berkata baik dan lebih baik diam jika tidak ada perkataan baik yang akan kita ucapkan. Dan perkataan baik yang berpahala adalah memperbanyak zikir, mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua; Tidak Mengganggu Tetangga

Suatu waktu, Jibril ‘alayhis salaam datang kepada Nabi dan mengingatkan untuk memperhatikan tetangga. Jibril datang memberikan sebuah wasiat untuk selalu berlaku baik kepada tetangga. Hingga Nabi kita mengira bahwa tetangga juga akan mendapatkan warisan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, dari Nabi ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda, “Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira bahwa tetangga juga akan mendapatkan harta waris.” (HR. Bukhari: 6014, Muslim: 2624)

Tentang tetangga, di hadis yang lain, ‘Aisyah pernah bertanya kepada Nabi tentang kepada siapa beliau berbagi hadiah. Jawaban Nabi adalah kepada tetangga yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya.

Dari Aisyah, ia berkata, “Saya pernah berkata pada Rasulullah,

يَا رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلىَ أَيِّهِمَا أُهْدِي؟

”Wahai rasulullah! Saya mempunyai dua tetangga, kepada siapa saya memberi hadiah?”
Beliau menjawab,

إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكَ باَباً

“Berilah hadiah kepada tetangga yang rumahnya paling dekat denganmu.” (HR. Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 32-Bab Haqqil Jiwar Qorbil Abwaab)

Hingga Nabi memerintahkan, ketika kita hendak memasak sesuatu. Nabi ingatkan untuk membuat masakan yang diperbanyak kuahnya. Tujuannya adalah agar kita bisa berbagi dengan tetangga.

Sabda Nabi,

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً, فَأَكْثِرْ مَاءَهَا, وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya dan berilah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim: 2625)

Ketiga; Memuliakan Tamu

Konsekwensi yang ketiga untuk setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir adalah memuliakan tamu.


Perkara tamu, bukan perkara yang sepele. Di dalam al qur’an sendiri, Allah ceritakan bagaimana Nabi Ibrahim kedatanagan tamu dan beliau memuliakannya dengan jamuan-jamuan. Bahkan dari kisah jamuan tamu tersebut, sunnah yang kita dapatkan adalah menyodorkan makanan dan memintanya untuk mencicipi yang kita hidagkan.

Firman Allah,

فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيۡهِمۡ قَالَ أَلَا تَأۡكُلُونَ, فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجۡلٖ سَمِينٖ

Terjemahannya: “Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

Tiga hal diatas adalah bagian-bagian hidup yang paling banyak kita lalui. Sebagai makhluk sosial, tiga hal diatas sangat penting untuk kita perhatikan. Khususnya dilingkungan tempat kita tinggal, tiga hal ini insya Allah bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Oleh: Absaid

(Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar)

Artikulli paraprakTips Wujudkan Kasih Sayang Dalam Rumah Tangga Ala Ustadz Zaitun Rasmin
Artikulli tjetërWahdah Islamiyah Bersama Pj Bupati Bombana Siap Wujudkan Satu Desa Satu Hafizh

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini